Senin, 23 Maret 2015

Setiap Anak Memiliki Hak Kasih Sayang Yang Sama


Sebuah  keluarga yang dikarunia anak lebih dari satu, potensial menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap anak-anak mereka. Memiliki lebih dari satu anak mungkin berakibat membandingkan anak anda satu sama lain.Seorang anak yang memiliki kecakapan khusus, yang kebetulan 'disukai' atau menjadi obsesi orang tua sejak kecil, cenderung menerima perlakuan 'plus' dari orang tua.
Jika anak kedua tidak bisa memakai pakaian secepat saudaranya, jangan mengatakan, “Lihatlah kakakmu, dia bisa melakukannya dengan cepat. Mengapa kamu tidak bisa melakukannya juga? ” Perbandingan  hanya akan membuat anak anda merasa bingung dan menjadi kurang percaya diri. Anak-anak bahkan mungkin membenci orang tua mereka karena mereka selalu mendapatkan perlakuan buruk dari perbandingan tersebut (terhadap kakak, adik, atau anak-anak lain), sedangkan perkembangan setiap anak berbeda.Daripada  membandingkan anak-anak anda, orang tua harus membantu untuk menyelesaikannya. Misalnya, ketika anak mengalami masalah mengenakan pakaian mereka sementara saudara mereka bisa melakukannya lebih cepat, orang tua harus membantu mereka untuk melakukannya secara benar.
Setiap orangtua disadari atau tidak memiliki anak kesayangan meski kadang mereka tak mau mengungkapkannya. Perbedaan perlakuan terhadap anak yang dinilai lebih baik, penurut atau lebih berprestasi berakibat pada munculnya rasa cemburu dari anak yang lain bahkan tudingan pilih kasih pun diluncurkan.
Pada dasarnya orangtua tak bermaksud membeda-bedakan kasih sayang pada anak-anaknya. Namun, yang terjadi adalah orangtua lebih dekat dengan salah satu anak dan hal tersebut menimbulkan persepsi perbedaan kasih sayang karena ada kecenderungan lebih yang dekat dengan orangtua adalah anak emas atau anak kesayangan.Tak dapat dipungkiri kecenderungan lebih dekat dengan satu anak dibandingkan dengan anak lainnya menimbulkan perlakuan istimewa yang berbeda dengan yang lainnya dan dampaknya memunculkan sikap cemburu, iri, dengki bahkan permusuhan yang dapat berujung pada pemutusan tali persaudaraan."Kalau intensitas kedekatan hubungan antara orangtua dan salah satu anak lebih dekat maka akan menimbulkan persepsi sikap pilih kasih. Apabila orangtua sangat mencolok memperlihatkan sikap intensitas kedekatannya pada salah satu anak justru akan menimbulkan dampak buruk terutama hubungan anak dengan orangtua pun menjadi tidak harmonis.Oleh sebab itu,  orangtua dituntut untuk bersikap adil baik berupa ucapan maupun tindakan di depan anak anaknya.Memang tidak mudah menjadi orangtua dan berlaku adil kepada semua anak-anak. Orangtua tentu mesti mengerti bahwa jika sikap pilih kasih itu terjadi, antara kakak dan adik tidak akan lagi bersikap harmonis, tetapi justru akan muncul percekcokan dan perselisihan yang akhirnya mengarah pada kebencian sesama anggota keluarga.Dia melanjutkan apabila salah satu anak telah mengungkapkan rasa protesnya maka sebaiknya orangtua harus sesegera mungkin meluruskan pandangan anak tersebut. Apabila anak telah mengeluarkan ungkapan kecemburuan seperti "Mama selalu begitu, deh, lebih sayang sama Kakak. Kalau sama aku, pasti marah-marah melulu." Orangtua sebaiknya mulai intropeksi dan memberi perlakuan yang sama bagi anak-anaknya.
Orangtua perlu bijak memberikan perhatian, termasuk dalam menyikapi kecemburuan kasih sayang antara kakak-adik dalam keluarga. Bahkan dibutuhkan strategi jitu dalam menghadapi anak-anak di rumah. Jangan sampai sikap orangtua membuat anak berpikir, kakak atau adiknya lebih diperhatikan daripada kepentingannya."Lebih menyedihkan lagi, jika anak berkata bahwa ia tak merasa dicintai orangnya, karena menurutnya ibu atau ayahnya pilih kasih. Perhatian orangtua penting bagi anak. Karenanya, ibu atau ayah perlu memberikan perhatian yang tepat sesuai kebutuhan anak. Memberikan perhatian kepada anak bukan dengan membagi perhatian tetapi melipatgandakannya.Orangtua tidak boleh membagi perhatian kepada anak-anaknya. Namun, yang perlu dilakukan adalah mengkalilipatkan cinta. Jika memiliki empat anak, berikan cinta lima kali lipat. Ibu harus memberikan perhatian kepada semua anaknya, pasangannya, dan dirinya sendiri."Kualitas cinta yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga harus sama, walau bentuknya berbeda. Selain melipatgandakan cinta dan perhatian kepada anak, orangtua juga perlu mahir berkomunikasi. Anak takkan merasa ibu atau ayahnya pilih kasih, jika mereka mendapatkan penjelasan dari sikap orangtuanya.Ketika orangtua memperlakukan kakak berbeda dengan adiknya, karena perbedaan usia atau karakter, maka berikan penjelasan tentang itu. Anak perlu memahami mengapa sebagai orangtua membedakan perlakuan terhadap anak-anak di rumah."Karena itu komunikasi sangat penting. Orangtua harus selalu belajar agar pesan yang dikomunikasikannya bisa sampai dan diterima dengan baik oleh si anak.

Senin, 16 Maret 2015

Menangani Anak Yang Terlambat Bicara (Disfasia, SLI)




Setiap manusia yang hidup akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan.  Pertumbuhan dan perkembangan dialami oleh seorang anak secara berdampingan. Meskipun pertumbuhan dan perkembangan sering digunakan secara bersama-sama, kedua istilah tersebut merupakan hal yang berbeda.   
Menurut Hurlock (1978), pertumbuhan berkaitan dengan  perubahan kuantitatif, yaitu peningkatan ukuran dan struktur  sedangkan perkembangan  berkaitan dengan perubahan  kualitatif dan kuantitatif yang teratur dan koheren.  Hal tersebut berarti pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, atau ukuran yang dapat diukur dengan ukuran berat dan  ukuran panjang, sedangkan perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dari seluruh bagian tubuh sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
Santrock (2007) membagi aspek pertumbuhan dan perkembangan  manusia atas tiga aspek. Pertama,  aspek pertumbuhan  fisik berupa perubahan ukuran tubuh, proporsi anggota badan, tampang, dan perubahan dalam fungsi-fungsi dari sistem tubuh seperti perkembangan otak, persepsi dan gerak (motorik), serta kesehatan. Kedua, aspek perkembangan kognitif  berupa perubahan yang bervariasi dalam proses berpikir dalam kecerdasan termasuk rentang perhatian, daya ingat, kemampuan belajar, pemecahan masalah, imajinasi, kreativitas, dan kemampuan dengan mengunakan bahasa. Ketiga,  aspek perkembangan sosial-emosional  berupa  perkembangan berkomunikasi secara emosional, memahami diri sendiri, kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, pengetahuan tentang orang lain, keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain, menjalin persahabatan, dan pengertian tentang moral.
Berkaitan dengan kemampuan berbahasa, Lenneberg (1967) menjelaskan bahwa kemampuan berbahasa seseorang berjalan searah dengan pertumbuhan fisiknya. Menurutnya, perkembangan bahasa bergantung pada pematangan otak secara biologis. Pematangan otak memungkinkan ide berkembang dan selanjutnya memungkinkan pemerolehan bahasa anak berkembang.
Piaget (1959) mengemukakan hal yang berbeda tentang kemampuan berbahasa. Menurutnya, perkembangan kemampuan berbahasa seseorang tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik melainkan oleh perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif sangat mempengaruhi perkembangan bahasa seseorang. Bahasa didasarkan pada nalar. Oleh karena itu, perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dalam kognisi. Struktur bahasa muncul sebagai interaksi yang terus-menerus antara tingkat kognitif seseorang dengan lingkungannya.
Hubungan timbal balik antara bahasa  dan pikiran dikemukakan oleh Vigotsky (1962). Menurutnya, bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Pikiran dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran berkembang tanpa bahasa, dan bahasa mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Terlepas dari perdebatan di atas, pada kenyataannya bahasa sangat berkaitan dengan pikiran seseorang. Kematangan berpikir seseorang akan tampak pada bahasa yang digunakannya. Demikian pula sebaliknya, kemampuan berbahasa seseorang akan membantu kemampuan berpikirnya.
Bahasa sangat berperan dalam interaksi.  Belajar melalui proses interaksi adalah proses penting dalam menjadikan seseorang  bertumbuh dan berhasil dalam menjalani kehidupannya. Melalui bahasa, seseorang dapat menyatakan pikiran dan perasaan kepada orang lain. Melalui bahasa pula seseorang dapat  memahami pikiran dan perasaan orang lain.
Menurut Hurlock (1978) perkembangan bahasa anak ditempuh melalui cara yang sistematis dan berkembang bersama-sama dengan pertambahan usianya. Anak mengalami tahapan perkembangan yang sama namun yang membedakan antara lain: sosial keluarga, kecerdasan, kesehatan, dorongan, dan hubungan dengan teman. Hal tersebut berarti perkembangan bahasa merupakan kombinasi dari faktor perkembangan fisik, kognitif, dan sosio-emosional. Kematangan berbahasa sangat dipengaruhi oleh kematangan fisik, kematangan kognitif, dan kematangan sosio-emosional. Perkembangan sosio-emosional merupakan suatu perubahan dalam relasi seseorang dengan orang lain.
Kemampuan berbahasa yang baik dapat dilihat pada  perkembangan  fungsi reseptif dan fungsi ekspresif. Fungsi reseptif adalah berkaitan dengan kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan suara serta mengerti kata-kata yang didengarnya. Fungsi ekspresif berkaitan dengan kemampuan anak mengutarakan keinginannya dan pikirannya. Fungsi ekspresif ini dipengaruhi fungsi reseptif dan merupakan kemampuan yang lebih kompleks karena anak memulai dengan komunikasi preverbal, dilanjutkan komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan pada akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal (Soetjiningsih, 1995).
Fungsi ekspresif dan fungsi reseptif dapat berkembang baik pada seorang anak. Pada anak tertentu dapat saja terjadi fungsi ekspresif berkembang baik, tetapi fungsi reseptifnya kurang berkembang, atau sebaliknya. Pada beberapa anak, juga dapat  ditemukan fungsi ekspresif dan fungsi reseptif sama-sama tidak berkembang.
Keadaan anak yang terganggu fungsi ekspresif dan atau fungsi reseptifnya kadang-kadang tidak disadari oleh orangtua. Pada saat anak sulit berinteraksi dengan teman sebaya, kadang-kadang orangtua baru menyadarinya. Menurut Kaplan & Sadock (1997), pada kondisi tersebut, anak hanya dianggap terlambat berbicara sehingga seringkali tidak ditangani secara benar.
Dalam perkembangannya, seorang anak yang mengalami masalah dalam fungsi ekspresif akan sulit dimengerti oleh orang lain di sekitarnya. Rintala & Linjala, (2003) menjelaskan bahwa gangguan bahasa ekspresif umumnya terdiri dari masalah artikulasi, masalah suara, masalah kelancaran berbicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan kata-kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan dalam bicara atau bahasa. Biasanya hanya orang tua dan keluarga terdekat yang berada dalam satu rumah dengan anak yang bisa memahaminya. Guru dan teman-teman biasanya kurang memahami maksud ucapan anak yang mengalami gangguan bahasa ekspresif.
Gangguan bahasa ekspresif yang dialami seorang anak seringkali membuat anak mendapat perlakuan yang  berbeda dari teman-temannya, bahkan menjadi bahan tertawaan. Hal tersebut akan menyebabkan anak frustrasi untuk membuat temannya mengerti maksud yang disampaikannya. Bahkan pada beberapa kasus, ada anak yang menyakiti diri sendiri karena frustasi.  Menurut Monk (1989), anak yang fungsi ekspresif dan atau fungsi reseptifnya tidak normal seperti di atas dapat berarti menderita gangguan bicara dan bahasa.
Gangguan bicara dan gangguan bahasa adalah dua hal yang berbeda. Menurut The American Speech-Language Hearing Association (ASHA), seseorang disebut mengalami gangguan bicara ketika seseorang tidak dapat menghasilkan bunyi ujaran dengan benar/lancar atau ketika seseorang memiliki masalah suara. Salah satu contoh gangguan bicara adalah kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi ujaran. Gangguan  bicara biasanya gejala dari suatu keadaan, seperti gangguan pendengaran, retardasi mental, autisme, serta gangguan otot-otot mulut dan pernafasan. Ketika seseorang tidak mampu menghasilkan ujaran yang benar atau lancar, maka orang itu memiliki gangguan bicara.
Beberapa ahli menyebut gangguan bicara sebagai gangguan artikulasi. Menurut The American Speech-Language-Hearing Association, gangguan artikulasi adalah meliputi gangguan dalam menghasilkan bunyi bahasa, dapat berupa penggantian bunyi, penghilangan bunyi, penambahan bunyi atau pengubahan bunyi. Gangguan artikulasi dapat pula  mempengaruhi tingkat fonetik dimana anak memiliki kesulitan mengucapkan konsonan atau vokal tertentu. Gangguan bahasa disebut pula dengan gangguan fonemis atau gangguan fonologis. Gangguan fonologis melibatkan pola kesalahan bunyi sampai melampaui tahap perkembangannya, misalnya anak mengganti semua bunyi  belakang mulut seperti /k/ dan /g/  menjadi  /t/ dan /d/).
Pada gangguan artikulasi kesulitan anak berada pada tingkat fonetik. Artinya, mereka memiliki kesulitan membuat bunyi ujaran, meskipun tidak ada yang salah dengan artikulator mereka. Dalam gangguan fonologis kesulitan anak berada pada tingkat fonemis atau dalam pikiran. Gangguan artikulasi atau gangguan bicara dapat terjadi bersama dengan  gangguan berbahasa atau gangguan fonologis yang berarti seorang anak mengalami keduanya.
The American Speech-Language-Hearing Association menyatakan bahwa gangguan bahasa adalah kelemahan dalam memahami dan atau menggunakan percakapan atau menulis berbagai sistem simbol yang lain. Gangguan tersebut mungkin melibatkan bentuk-bentuk bahasa (fonologis, morfologis, dan sintaksis), isi bahasa (semantis), dan fungsi bahasa (pragmatis) atau gabungan berbagai aspek di atas.  Jadi, ketika seseorang memiliki kesulitan memahami orang lain (bahasa reseptif), atau kesulitan berbagi  gagasan atau perasaan (bahasa ekspresif) kepada orang lain, maka ia memiliki gangguan bahasa.
Menurut Hernawati (2009), gangguan berbahasa ditandai dengan ketidakmampuan anak untuk berdialog interaktif, ketidakmampuan memahami pembicaraan orang lain, mengerti dan atau menggunakan kata-kata dalam konteks yang ‘nyambung’  baik verbal maupun non verbal, ketidakmampuan membaca dan mengerti apa yang dibaca, serta ketidakmampuan mengekspresikan pikiran melalui kemampuan berbicara atau menyampaikan pesan lewat bahasa tulisan.  Beberapa karakteristik dari gangguan berbahasa meliputi penggunaan kata yang tidak tepat, ketidakmampuan untuk menyampaikan pendapat, ketidaktepatan dalam penggunaan pola gramatikal, kosakata yang minimal, dan ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi.
Seorang anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan suatu kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata dengan baik. Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi anak tersebut dapat menyusun kata-kata yang benar untuk menyatakan keinginannya. 
Anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa dapat mengalami hambatan dalam perkembangan literasi, termasuk membaca, menulis, bicara, mendengar, dan berpikir.  Keterampilan berbicara, menyimak, membaca, menulis, dan berpikir keterampilan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang. Seorang anak yang mengalami hambatan-hambatan tersebut akan menarik diri dari pergaulan sehingga sangat berpengaruh pada kehidupan anak kelak.
The Royal College of Speech and Language Therapists memperkirakan bahwa 2,5 juta orang di Inggris memiliki gangguan komunikasi. Dari jumlah ini, sekitar 800.000 orang memiliki gangguan yang begitu parah sehingga sulit bagi siapa pun di luar keluarga mereka untuk memahami mereka (Cummings, 2008).   Law dkk (2010) memperkirakan ada sekitar 6% anak-anak mengalami kesulitan bicara dan bahasa. Anak-anak tersebut kemungkinan  memiliki masalah jangka panjang mengenai literasi, sosialisasi, perilaku dan prestasi  sekolah.
Prevalensi anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa di Indonesia memang belum ada angka pasti.  Namun untuk kondisi Sulawesi Tengah, Badan Pusat Statistik (2010) mencatat  bahwa penduduk  yang mengalami kesulitan berkomunikasi berjumlah  31.422  orang  dari 2.635.000  orang penduduk Sulawesi Tengah (www.bps.go.id., diakses tanggal 25 Maret 2012).
Gangguan bicara dan bahasa yang dialami anak sangat beragam. Salah satu gangguan bicara dan bahasa yang biasa dialami oleh anak adalah specific language impairment (SLI). SLI  adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seorang anak yang secara substansial perkembangan bahasanya di bawah tingkat usia, tanpa penyebab yang jelas (Bishop, 1997).
Survei di Amerika Serikat membuktikan bahwa sejumlah 7% anak sekolah dasar mengalami SLI (Bishop & Leonard, 2000). SLI juga biasa disebut dengan istilah bahasa tertunda, namun penggunaan istilah bahasa tertunda  menyiratkan bahwa anak sedang mengembangkan bahasa namun terlambat, sedangkan karakteristik linguistik  untuk keduanya,  bahasa tertunda dan SLI sama. Bahasa tertunda adalah istilah yang lebih tepat untuk kesulitan bahasa anak prasekolah, dan SLI dianggap lebih tepat untuk menyebut anak yang usia lebih tua yang mengalami jenis kesulitan bahasa (Whitehurst & Fischel, 1994).
Guibert (2011) dan Dlouha (2003) menyebut SLI dengan istilah disfasia perkembangan. Namun istilah disfasia perkembangan dianggap kurang cocok karena disfasi berasal dari afasia yang berarti ketidakfasihan berbahasa karena adanya gangguan pada otak. Tallal (1978) mendefinisikan disfasia perkembangan sebagai gangguan perkembangan bahasa dan bicara ekspresif dan atau reseptif pada anak tanpa gangguan pendengaran, mempunyai intelegensia yang baik dan lingkungan yang mendukung. Perkembangan bahasa di awal-awal kelahiran normal, namun mengalami kemunduran pada tahun kedua kelahiran.
Anak adalah harapan keluarga dan pilar bangsa di masa yang akan datang. Pengawalan perkembangan anak menjadi tanggung jawab setiap orang, bukan hanya keluarga. Perkembangan bahasa menjadi vital karena kemampuan berbahasa merupakan investasi masa depan bagi anak. Orangtua sebagai orang terdekat perlu memahami perkembangan bahasa anak yang mengalami SLI. Pemahaman yang cukup tentang SLI  akan menjadi referensi bagi orangtua untuk melakukan deteksi dini gangguan berbahasa pada anak. Mengetahui lebih awal akan gangguan berbahasa yang dialami anak sangat berguna untuk mencegah gangguan  yang lebih parah.
Menurut Ramsden dkk (2001), gangguan berbahasa seperti SLI dapat menimbulkan berbagai masalah dalam proses belajar di usia sekolah. Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa beresiko mengalami kesulitan belajar, kesulitan membaca dan menulis dan akan menyebabkan pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh. Hal tersebut dapat berlanjut sampai usia dewasa muda. Selanjutnya orang dewasa dengan pencapaian akademik yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa, akan mengalami masalah perilaku dan penyesuaian psikososial.
Ramsden (2004) bahkan menegaskan bahwa anak yang mengalami SLI  akan mengalami kesulitan sosial. Anak SLI kesulitan dalam mengungkap apa yang diinginkan, dipikirkan, atau yang dirasakannya kepada orang lain secara tepat. Sebaliknya, orang lain mengalami kesulitan mengetahui apa yang diinginkan, dipikirkan, atau yang dirasakan oleh anak. Sebagai akibat dari kekurangannya, anak SLI sangat mungkin mengalami masalah emosional yang berupa citra diri yang buruk, frustrasi, dan depresi pada usia sekolah. Oleh karena itu, deteksi awal dan intervensi sedini mungkin memiliki makna penting bagi perkembangan anak SLI selanjutnya.
Melihat sedemikian besar dampak yang timbul akibat gangguan berbahasa pada anak yang mengalami SLI maka sangatlah penting untuk mengoptimalkan proses perkembangan bahasa pada periode tertentu. Deteksi dini gangguan berbahasa pada anak  adalah tindakan yang terpenting untuk menilai tingkat perkembangan bahasa anak sehingga dapat meminimalkan kesulitan dalam proses belajar anak tersebut saat memasuki usia sekolah. Beberapa ahli bahkan menyimpulkan bahwa perkembangan bicara dan bahasa dapat dipakai sebagai indikator perkembangan anak secara keseluruhan, termasuk kemampuan kognisi dan kesuksesan dalam proses belajar di sekolah.
 Sehubungan dengan itu, berbagai kajian tentang SLI yang telah dilakukan  adalah sebagai berikut.
a.       Van Kleeck, Anna, Gillam, R.B., McFadden T.U. (1998) melakukan penelitian dengan judul “A Study of Classroom-Based Phonological Awareness Training for Preschoolers with Speech and/or Language Disorders”. Dalam penelitian tersebut dilakukan perbandingan pada 8 orang anak yang mengikuti pelatihan kesadaran fonologis dengan yang tidak mengikuti pelatihan dua kali seminggu selama 9 bulan. Setiap sesi dilaksanakan selama 15 menit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang mengikuti pelatihan mengalami perbaikan yang signifikan dalam berima dan kesadaran fonologis.
b.       Gillon & McNeil (2007) meneliti efektivitas intervensi kesadaran fonologis pada anak melalui penelitiannya yang berjudul Integrated Phonological Awareness An Intervention Program for Preschool Children with Speech Language Impairment. Pada penelitian tersebut,  intervensi kesadaran fonologi terpadu dirancang secara simultan untuk memfasilitasi produksi ujaran, kesadaran fonologi dan pengenalan huruf pada anak-anak prasekolah. Temuan dari penelitian tersebut  menunjukkan bahwa program intervensi kesadaran fonologi efektif dalam memfasilitasi peningkatan produksi ujaran, membaca awal dan perkembangan ejaan pada anak-anak prasekolah yang mengalami gangguan bicara.
c.       Segers & Verhoeven (2004) meneliti dukungan komputer untuk meningkatkan kemampuan fonologis anak yang mengalami SLI. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan apakah anak TK dengan gangguan bahasa tertentu (SLI) dapat mengembangkan keterampilan kesadaran fonologi melalui intervensi komputer. Program kesadaran fonologi yang didukung komputer ini dilakukan untuk berbagai item, termasuk analisis kata, analisis suku kata, analisis sajak, analisis fonem, sintesis suku kata, dan sintesis fonem. Dua puluh empat orang anak TK dengan SLI di Belanda menjalani 3,5 jam intervensi kesadaran fonologi melalui game komputer.  Hasil penelitian menunjukkan dampak positif dari intervensi tersebut untuk keterampilan kesadaran fonologi.
d.      Schmidt (2012) melakukan studi pustaka yang berjudul “Effective Interventions for Preschool Children with Specific Language Impairment”. Penelitian tersebut berfokus pada berbagai defisit morfologi dan sintaksis anak yang mengalami SLI dan jenis-jenis intervensi yang dilakukan oleh para ahli untuk mengatasi berbagai defisit tersebut. Schmidt menyarankan intervensi bahasa hybrid sebagai bentuk intervensi standar bagi anak yang mengalami SLI. Intervensi multidimensi  dianggap sebagai bentuk terapi  yang terbaik yang dapat mencakup berbagai jenis defisit bahasa.
e.       Swanson dkk (2005) juga telah melakukan penelitian tentang anak yang mengalami SLI. Dalam penelitian yang berjudul Use of Narrative-Based Language Intervention With Children Who Have Specific Language Impairment  tersebut, Swanson dkk meneliti sepuluh anak usia 7 s.d. 8 tahun yang mengalami SLI selama 6 minggu. Intervensi ini menggunakan program narasi berbasis bahasa.  Setiap kesempatan intervensi menargetkan isi  cerita dan bentuk-bentuk kalimat. Hasil penelitian menunjukkan 8 anak yang mencapai perbaikan yang signifikan berdasarkan hasil perbandingan pretest dan posttest. Selama intervensi, anak-anak menunjukkan peningkatan kepercayaan diri dalam produksi keterampilan narasi mereka. Hampir semua anak menyukai kegiatan bercerita dibandingkan tugas latihan imitasi.
f.       Sheng and McGregor (2010) melakukan penelitian yang berjudul Lexical-Semantic Organization in Children with Specific Language Impairment. Penelitian ini untuk mengetahui apakah anak-anak dengan gangguan bahasa tertentu (SLI) menunjukkan defisit dalam organisasi leksikal-semantik. Hasil penelitian menunjukkan anak-anak dengan SLI menghasilkan respon semantik yang lebih sedikit dan lebih banyak leksikon yang salah.
Penelitian ini berbeda karena dilakukan  pada  kasus tunggal dengan menggunakan ancangan teori linguistik klinis yang berfokus pada penyebab gangguan berbahasa, presentasi klinis berupa berbagai defisit kebahasaan serta  intervensi dalam bentuk imitasi dan stimulasi untuk perbaikan beberapa defisit yang dialami subjek.
Ancangan teori linguistik klinis tidak dapat dilepaskan dari kontribusi ilmu kedokteran dan praktisinya.  Menurut Cummings (2008), dalam rangka menjelaskan  proses komunikasi,  deskripsi anatomi dan fisiologis, seperti anatomi dan fisiologi pendengaran sangat dibutuhkan. Untuk itu perlu keterlibatan otolaringolog untuk mengetahui bagaimana kondisi struktur anatomi dan fisiologis pendengaran ini, aapakah berfungsi atau tidak dalam menghasilkan ucapan dan bunyi.
Spesialis lain yang sangat dibutuhkan adalah neurolog. Neurologi mempunyai kaitan erat dengan bahasa karena kemampuan manusia berbahasa  bukan hanya karena lingkungan tetapi karena kodrat neurologis yang dibawa sejak lahir. Menurut Cumming (2008), neurologi adalah studi tentang struktur dan fungsi sistem saraf, termasuk sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) dan perifersistem saraf (saraf kranial dan spinal) yang berhubungan dengan bahasa.
Chaer (2009) juga menjelaskan pentingnya neurologi bagi perkembangan bahasa. Otak  memiliki peran yang sangat besar dalam pemerolehan, pemahaman dan pemakaian bahasa. Proses bahasa itu dimulai dari enkode semantik, enkode gramatika, dan enkode fonologi, lalu dilanjutkan dengan dekode fonologi, dekode gramatikal, dan diakhiri dengan dekode semantik. Semua proses ini dikendalikan oleh otak yang merupakan alat pengatur dan pengendali gerak semua aktifitas manusia. Tanpa otak dengan fungsi-fungsinya, mustahil manusia dapat berbahasa.
Peran psikolog juga tidak dapat dilepaskan dari pengkajian, diagnosa, dan  terapi gangguan berbahasa jika anak yang mengalami gangguan berbahasa berkaitan dengan gangguan psikis yang dialami, misalnya, anak yang mengalami Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Anak ADHD yang mengalami gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik yang berlebihan, sering pula mengalami gangguan berbahasa.
Kesimpulannya, tidak ada studi linguistik klinis mampu untuk mengabaikan
peran berbagai  spesialisasi medis. Para spesialisasi medis dan praktisi medis  sangat dibutuhkan selama pengkajian, diagnosa dan terapi  gangguan (jika etiologinya diketahui dari salah satu bidang tersebut).
1.2  Fokus Penelitian
Untuk menjalin komunikasi antarpersonal diperlukan kemampuan berbahasa. Melalui bahasa, penutur menyampaikan pesan agar dipahami oleh mitra tutur. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa sangat penting bagi setiap manusia. Bagi anak yang mengalami mengalami gangguan berbahasa, termasuk SLI,  tentu hal tersebut sangat sulit.  Gangguan berbahasa pada anak yang mengalami SLI sangat variatif. Untuk itu, peneliti akan melakukan penelitian ini berorientasi pada linguistik klinis menggunakan rancangan studi kasus tunggal yang berfokus pada:
a.         Etilogi atau penyebab gangguan berbahasa pada anak yang mengalami SLI. Penelitian ini ingin mengungkap penyebab SLI pada subjek melalui berbagai pemeriksaan klinis oleh beberapa ahli, yaitu pediatrik (ahli kesehatan anak), psikolog (ahli kejiwaan), neurology (ahli syaraf), dan otorhinolaringolog (ahli telinga hidung dan tenggorokan)  dan penelusuran riwayat keluarga serta lingkungan berbahasa anak oleh peneliti.
b.        Assessment klinis untuk mengetahui presentasi klinis gangguan berbahasa pada anak yang  mengalami SLI berupa bentuk-bentuk lingual anak yang mengalami SLI. Bentuk-bentuk lingual tersebut dilihat dari defisit (ketidakmampuan/penyimpangan) berbagai bidang linguistik, baik fonologis, morfologis, sintaksis, leksiko-semantis, maupun pragmatis. Assessment klinis untuk mengetahui kondisi klinis linguistis subjek harus dilakukan untuk mengetahui defisit yang dialami subjek. Hasil assessment klinis akan digunakan untuk menyusun program intervensi kepada sunjek.
c.         Pelaksanaan intervensi dilakukan terhadap subjek berdasarkan defisit-defisit yang dialami. Intervensi bertujuan meningkatkan kemampuan linguistis subjek sesuai jenis defisit yang dialami.
d.         Hasil intervensi yang diberikan kepada subjek, apakah ada peningkatan kemampuan lingustik pada beberapa atau semua  bidang defisit  setelah subjek menjalani intervensi.
1.3  Landasan Teori
Berdasarkan fokus penelitian, berbagai teori sehubungan dengan perkembangan bahasa anak, etiologi atau penyebab SLI, presentasi klinis yang meliputi berbagai defisit linguistis dan metanalisis terhadap berbagai intervensi anak SLI. Pemahaman tentang berbagai teori yang relevan akan sangat membantu dalam menyelami gangguan berbahasa yang dialami subjek.
Pemahaman tentang perkembangan bahasa anak akan sangat mendukung dalam hal menelusuri riwayat subjek dan memahami penyebab gangguan berbahasa pada subjek. Berbagai hasil penelitian tentang etiologi SLI dapat dijadikan bahan rujukan untuk memahami penyebab gangguan berbahasa pada subjek. Sedangkan metanalisis terhadap gangguan berbahasa dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan intervensi yang tepat terhadap subjek.
1.3.1        Perkembangan Bahasa Anak
Seorang anak yang normal akan memperoleh bahasa pertamanya dalam waktu yang relatif singkat (yaitu kira-kira dari usia 2-6 tahun). Menurut Skinner (1957), seorang anak akan mengembangkan kemampuan berbahasa jika mendapat stimulus dari orang lain. Jadi, perilaku berbahasa manusia merupakan perilaku berbahasa yang diteguhkan melalui perantaraan orang lain. Sejalan dengan itu, perkembangan perilaku berbahasa bergantung pada faktor lingkungan.
Perkembangan bahasa anak tidak saja dipengaruhi oleh lingkungan. Perkembangan neurologis dan biologis berpengaruh terhadap perkembangan bahasa.  Seorang anak yang mengalami cacat neurologis di area bahasa sangat sukar mengembangkan kemampuannya dalam berbahasa (Chaer, 2009).
Sehubungan dengan perkembangan biologis, menurut Lenneberg (1967)   perkembangan bahasa anak mengikuti jadwal biologis yang tidak dapat ditawar-tawar. Seorang anak tidak dapat dipaksa atau dipacu untuk dapat mengujarkan sesuatu, bila kemampuan biologisnya belum memungkinkan. Sebaliknya, bila seorang anak secara biologis telah dapat mengerjakan sesuatu, dia tidak akan dapat pula dicegah untuk tidak mengujarkannya karena memang ada keterkaitan antara perkembangan biologi dengan kemampuan berbahasanya.
Bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan anak. Anak-anak yang cerdas dalam bahasa menyukai kegiatan bermain yang memfasilitasi kebutuhan mereka untuk berbicara, bernegosiasi, dan juga mengekspresikan perasaan dan pikiran dalam bentuk kata-kata. Lust (2006) membagi perkembangan bahasa anak sebagai berikut:
a.                   Usia 0-6 bulan anak hanya menangis
b.                  Usia 6-12 bulan anak mulai mengoceh dan mulai dapat memahami beberapa kata dan perintah singkat
c.                   Usia 18-24 bulan anak sudah mengusai 3  s.d. 15 kata
d.                  Usia 24 bulan  ke atas anak dapat membuat frase
e.                  Usia 30 bulan ke atas  anak dapat berkomunikasi intens dan frustasi jika bahasanya tidak dimengerti oleh orang dewasa
f.                   Usia 36 bulan  anak menguasai 1000 kosa kata dan 80% kata yang diucapkan jelas
g.                  Usia di atas 36 bulan bahasa anak relatif stabil
Pada umumnya,  anak usia  antara usia 4 sampai dengan 5 tahun  sudah menguasai kalimat yang terdiri dari empat sampai lima kata. Mereka juga mampu menggunakan kata depan, seperti di bawah, di atas, di dalam dan di samping. Anak lebih banyak menggunakan kata kerja daripada kata benda. Anak dengan usia antara  5 sampai dengan 6 tahun sudah dapat mengucapkan kalimat yang terdiri atas enam sampai delapan kata. Anak sudah dapat menjelaskan arti kata yang sederhana mengetahui lawan kata, menggunakan kata penghubung, kata depan dan kata sandang. Pada masa akhir usia taman kanak-kanak, anak umumnya sudah mampu berkata-kata sederhana dan berbahasa sederhana, cara bicara mereka telah lancar, dapat dimengerti dan cukup mengikuti tata bahasa walaupun masih melakukan kesalahan berbahasa (Syaodih, 1995).
Perkembangan bahasa anak tidak terlepas dari perkembangan kognitif.  Piaget  (1959) membagi tahapan perkembangan kognitif manusia menjadi empat kategori: (a) tahap sensori motor (usia 0-2 tahun), (b) tahap praoperasi (usia 2-7 tahun), (c) tahap operasi konkret (usia 7-11 tahun) dan (d) tahap operasi formal (usia 11 tahun ke atas). Pada usia 2  tahun ke atas,  anak sudah mulai berbicara disertai penguasaan perbendaharaan kata yang meningkat.
Pada tahap sensori motor dan tahap praoperasi  harus terjadi stimulasi pada anak agar perkembangan selanjutnya dapat berlangsung dengan baik. Jika pada masa tersebut anak tidak memperoleh stimulus yang tepat, anak akan menghadapi kesulitan. Anak yang sudah sampai pada tahap kesiapan berbicara, tetapi tidak menerima stimulus untuk melatih kemampuan berbicaranya, maka ia akan mengalami kesulitan berbicara (Gunarsa,1989:25, Yunanto, 2004: 64; Arifuddin, 2010: 117)). Tahap praoperasi yang paling penting adalah anak mulai menggunakan bahasa. Ketika berusia 4 tahun, biasanya anak lebih lancar menggunakan bahasa (Suparno, 2001:56; Sudono, 2000: 3).
Piaget (1959) berpendapat bahwa berpikir itu mendahului bahasa dan lebih luas dari bahasa. Bahasa adalah salah satu cara yang utama untuk mengekspresikan pikiran. Dalam seluruh perkembangan, pikiran selalu mendahului bahasa.
Sejalan dengan hal di atas,  Vygotsky (1962) menjelaskan bahwa perkembangan bahasa seiring dengan perkembangan kognitif, bahkan saling melengkapi. Keduanya  berkembang dalam satu lingkup sosial. Artinya, bahasa dapat membantu perkembangan kognitif. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak pada benda-benda baru atau hubungan baru yang ada di lingkungan, mengenalkan anak pada pandangan-pandangan yang berbeda, dan memberikan informasi pada anak. Bahasa adalah salah satu dari berbagai perangkat yang terdapat dalam sistem kognitif manusia.
Anak adalah makhluk yang aktif dan adaptif namun bersifat egosentris yang proses berpikirnya sangat berbeda dengan orang dewasa, maka pengalaman belajar disesuaikan dengan pemahaman mereka. Dalam pandangan Vygotsky (1978), struktur mental atau kognitif anak terbentuk dari hubungan diantara fungsi-fungsi mental. Dalam hal ini, hubungan antara bahasa dan pemikiran diyakini sangat penting.  
Cummings (2008) juga menegaskan bahawa kognisi merupakan hal mendasar bagi  perkembangan keterampilan berkomunikasi. Kelemahan kognitif  akan menimbulkan gangguan berbahasa yang berbeda-beda. Heterogenitas gangguan kognitif menyebabkan populasi klinis gangguan berbahasa beragam pula. Sebuah kajian yang  telah meneliti hubungan antara kognitif dan perkembangan bahasa  menunjukkan bahwa gangguan fungsi kognitif dapat memiliki pengaruh buruk  yang signifikan terhadap perkembangan bicara dan pemerolehan bahasa.  
Schaerlaekens & Gillis (1987)  membagi fase-fase perkembangan bahasa anak dalam empat periode. Perbedaan ini didasarkan pada ciri-ciri tertentu yang khas pada setiap periode.  Adapun periode-periode tersebut adalah sebagai berikut:  a) Periode Prelingual (usia 0-1 tahun) adalah periode anak belum dapat mengucapkan 'bahasa' seperti yang diucapkan orang dewasa. Namun perkembangan menghasilkan bunyi-bunyi itu sudah mulai pada minggu-minggu sejak kelahirannya; b) Periode Lingual Dini (usia 1-2,5 tahun) adalah periode anak mulai mengucapkan perkataannya yang pertama, meskipun belum lengkap. Misalnya: atit (sakit), agi (lagi), dan seterusnya. Pada masa ini beberapa kombinasi bunyi masih terlalu sukar diucapkan, juga beberapa bunyi masih sukar diucapkan, seperti: /r/, /s/, /k/, /j/, dan /t/. Pertambahan kemahiran berbahasa pada periode ini sangat cepat dan dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu: (1) periode kalimat satu kata (holophrare), (2) periode kalimat dua kata, (3) periode kalimat lebih dari dua kata (more word sentence); c) Periode Diferensiasi (usia 2,5- 5 tahun)  adalah periode anak dalam mengadakan diferensiasi dalam penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat; d) Periode Menjelang Sekolah (sesudah usia 5 tahun) adalah periode  anak masuk sekolah dasar; yaitu pada waktu mereka berusia antara lima sampai enam tahun. 
Hurlock (1996) menyebutkan bahwa belajar berbicara merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa bayi dan awal masa kanak-kanak. Kemampuan anak memahami bahasa (reseptif)  berkembang lebih dahulu daripada kemampuan berbicara. Ketika mulai berbicara, anak-anak mengalami kemajuan yang bervariasi dalam mengembangkan kemampuan berbicara seperti dalam hal perbendaharaan kata, pembentukan kalimat, dan kejelasan dalam berbicara. Kejelasan anak dalam berbicara berasal dari kemampuan anak untuk mengartikulasi kata secara tepat.
Untuk memahami tahap perkembangan bicara anak, apakah perkembangannya mormal atau terganggu, perlu dilakukan skrining terhadap anak. Skrining perkembangan bicara dapat dilakukan jika orangtua atau pengasuh anak memahami tahap perkembangan bicara. Tabel 1 yang diadopsi dari Child Guidance Center, Iowa dapat dijadikan acuan skrining perkembangan bicara.
Tabel 1 Perkembangan Bicara Anak
Usia (bln)
Kemampuan Anak
1-3
Menoleh saat mendengar suara yang familiar (ibu, ayah)

Membuat suara seperti “ooh” dan “ah”
3-6
Terlihat senang (tersenyum, tertawa) saat didekati oleh orang yang dikenalnya

Berteriak (saat sendiri atau terhadap orang lain) karena kegirangan

Mengoceh

Suara konsonan seperti “p”, “b”, dan “m” mulai muncul
6-9
Menunjukkan suasana hati (senang, marah) dengan suara

Bermain dengan suara (mengeluarkan suara dengan intonasi dan volume yang berbeda-beda)
9-12
Mengocehkan 2-3 suku kata secara berulang-ulang seperti: ma-ma, da-da-da

Lebih sering menggunakan suara dari pada tangisan untuk mendapatkan perhatian
12-15
Menggunakan suara untuk menolak

Menggunakan suara untuk mengajukan permintaan
15-18
Menguasai 10-20 kata, sebagian besar adalah kata benda

Mengucapkan kata secara berulang-ulang (ekolalia)

20-25% pengucapan dimengerti oleh orang lain
18-24
Bersenandung atau mencoba bernyanyi mengikuti nyanyian sederhana

Memasukkan dua kata dalam kalimat (papa nakal)

Menyebut anggota keluarga (mama, papa, kakak/ mas, mbak, adik)

Mengucapkan pertanyaan yang terdiri dari dua kata (“papa mana?”)

Mengungkapkan rasa takut secara lisan

Menguasai 20-50 kata

50-70% pengucapan dapat dimengerti oleh orang lain
24-36
Mengucapkan nama bagian-bagian tubuh, nama hewan, buah-buahan dll

Mengulang nyanyian yang didengarnya

Mengulang cerita yang didengarnya

Menguasai 400 kata

Sebagian besar ucapan dapat dimengerti oleh orang lain
36-48
Memasukkan 3-5 kata dalam satu kalimat

Bercakap-cakap

Bercerita

Menguasai 900-1000 kata

90% pengucapan dapat dimengerti oranglain
48-60
Memasukkan 6-8 kata dalam satu kalimat

Menjawab pertanyaan berdasarkan cerita

Mengetahui 1500-2500 kata
60 +
Mengetahui seluruh huruf vocal

Mengetahui seluruh huruf konsonan

Menggunakan kalimat kompleks

Umumnya menggunakan tata bahasa secara benar

Tahap perkembangan di atas, dapat dijadikan skrining (penyaring) untuk mengetahui sejauhmana perkembangan berbicara anak.

1.3.2        Hakikat Specific Language Impairment (SLI)
Specific Language Impairment (SLI) atau gangguan bahasa spesifik atau gangguan bahasa tertentu adalah  gangguan perkembangan yang mempengaruhi penguasaan dan penggunaan bahasa seseorang. SLI didiagnosa ketika bahasa anak tidak berkembang namun tidak ditemukan adanya keterbelakangan mental,  kelainan bicara secara fisik, gangguan autistik, atau gangguan kerusakan otak. (Bishop, 2004; Mabel, 2005).
Maillart & Parisse (2009) juga menjelaskan hal yang serupa bahwa SLI adalah gangguan yang ditandai dengan keterlambatan atau ketidaknormalan perkembangan bahasa. Sebagian besar anak dengan gangguan SLI tidak disertai dengan defisit  kognitif lain atau defisit neurologis. Profil SLI pada seorang anak mungkin saja berbeda dengan anak yang lain. Untuk itu, SLI dipertimbangkan sebagai suatu nama umum yang meliputi tiga gangguan perkembangan bahasa, yaitu dispraksia lisan perkembangan, disfasia linguistik, dan gangguan bahasa pragmatis.  
SLI juga kadang-kadang disebut disfasia perkembangan atau gangguan perkembangan bahasa. Disfasia perkembangan kemudian berubah menjadi SLI karena beberapa ahli tidak puas dengan istilah tersebut. Penggunaan istilah disfasia berhubungan dengan adanya cedera otak, sedangkan anak SLI tidak  mengalami cedera otak. Menurut Thordardotir (2007), SLI didiagnosa pada anak-anak yang signifikan mengalami kesulitan perkembangan terutama  di bidang bahasa, seperti kesulitan dalam aspek kosa kata dan tata bahasa.  
Anak-anak yang mengalami SLI memiliki kesulitan berbahasa lisan. Kondisi SLI sangat jelas pada tahun-tahun prasekolah, sebelum sekolah formal. Meskipun  perkembangan bahasa lisan sangat bervariasi di kalangan anak-anak, namun pada anak yang mengalami SLI, kesulitan khusus pada kemampuan berbahasa.
Beberapa tahun terakhir, ada berbagai variasi tentang kriteria SLI.  Tombin (1996) mengusulkan kriteria SLI berdasarkan lima skor komposit mewakili kinerja dalam tiga domain bahasa (kosakata , tata bahasa , dan narasi) dan dua modalitas (pemahaman dan produksi). Bishop & Snowling (2004) bahkan menambahkan bahwa pada anak yang mengalami SLI terjadi masalah dengan persepsi pendengaran dan proses fonologis yang sangat memberi dampak pada kemampuan membaca anak.   
Ciri-ciri SLI menurut Gillam (2009) adalah sebagai berikut: (a) kekurangan vocabulary, (b) tidak mampu menggunakan kalimat kompleks, (c) tatabahasa lemah, (d) kurang mampu menggunakan pronoun dan konjungsi, (e) kesulitan dalam memahami cerita, dan (f) kesulitan dalam memproduksi cerita. Ditambahkan oleh  Aguilar & Mediavilla (2002) bahwa: (a) anak-anak SLI kurang akurat dalam produksi ujaran jika melihat usia mereka, (b) anak-anak SLI juga kurang akurat dalam perkembangan penggunaan bunyi-bunyi lateral, nasal, dan glottal, (c)  anak-anak  SLI juga menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam pemerolehan struktur suku kata yang sederhana, seperti  CV  dan (d) anak-anak SLI juga menunjukkan sering mengalami  afrikasi,  lateralisasi, pengurangan klaster, dan penghapusan klaster. 
Hasil penelitian di atas sejalan dengan hipotesis Leonard (2000)  bahwa anak-anak dengan SLI memiliki pengolahan memori yang lambat. Penelitian di atas sangat  membantu  menjelaskan gejala dan keseluruhan proses yang mengalami defisit untuk mengembangkan intervensi  anak-anak dengan SLI.
Bishop (2007) juga menjelaskan bahwa anak yang mengalami SLI bermasalah dalam belajar kata. Anak SLI juga bermasalah dalam membuat ujaran yang benar. Dari aspek sintaksis, anak SLI juga bermasalah dalam memproduksi atau memahami kalimat kompleks.
    Marton (2010) pernah meneliti postur tubuh dan gerakan tangan imitasi pada anak-anak dengan gangguan bahasa tertentu (SLI) dan rekan-rekan sebaya yang tidak mengalami gangguan. Para peserta adalah  40 anak-anak dengan SLI (5 tahun 3 bulan sampai 6 tahun 10 bulan) dan 40 anak-anak dengan perkembangan bahasa yang khas (5 tahun 3 bulan sampai 6 tahun 7 bulan). Beberapa tes digunakan untuk memeriksa imitasi dan kognitif yang mendasari dan keterampilan motorik seperti kinestesia, memori kerja, dan koordinasi motorik kasar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami  SLI menunjukkan kelemahan meniru gerakan tubuh.
Mariko (2012) juga pernah meneliti tentang kontak mata yang dilakukan oleh anak yang mengalami SLI. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang mengalami SLI lebih cenderung memperhatikan mulut dibandingkan melakukan kontak mata dengan mitra tuturnya. Hal tersebut berarti  kelemahan pada anak dengan SLI tidak terbatas pada domain verbal, tetapi juga pada gerakan tubuh dan kontak mata.    
Berdasarkan hasil penelitian para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa anak yang mengalami SLI memiliki gejala sebagai berikut:
a.         produksi ujaran kurang akurat jika dilihat dari usia mereka;
b.        kurang akurat dalam perkembangan penggunaan bunyi-bunyi lateral, nasal, dan glottal;
c.         menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam pemerolehan struktur suku kata yang sederhana;
d.        menunjukkan sering mengalami  afrikasi,  lateralisasi, pengurangan klaster, dan penghapusan klaster;
e.         kekurangan leksikon;
f.         tidak mampu menggunakan kalimat kompleks;
g.        tatabahasa lemah;
h.        kurang mampu menggunakan pronoun dan konjungsi;
i.          kesulitan dalam memahami cerita;
j.          kesulitan dalam memproduksi cerita;
k.        lemah dalam meniru gerakan tubuh; dan
l.          kurang melakukan kontak mata dengan mitra tutur.
1.3.3 Etiologi  Specific Language Impairment
Etiologi adalah studi tentang penyebab suatu penyakit atau penyebab dari suatu kondisi yang tidak normal (www.meriam-webster.com). Dalam ilmu kedokteran, etiologi merupakan ilmu yang mempelajari penyebab atau asal penyakit dan faktor-faktor yang menghasilkan atau memengaruhi suatu penyakit tertentu atau gangguan (healthcareers.about.com).
Etiologi gangguan bicara dibagi menjadi gangguan organik dan gangguan fungsional. Gangguan organik adalah gangguan yang diketahui penyebabnya secara fisik, (misalnya, paralisis dari pita suara). Kelainan fungsional, kemungkinan terjadi karena adanya perubahan pada fisik, tetapi tidak diketahui etiologinya secara fisik.
Secara umum, etiologi gangguan bicara dan bahasa dibedakan atas beberapa faktor.
a.       Hambatan Pendengaran
Hambatan pendengaran sangat berkaitan dengan keterlambatan bicara. Jika seorang  anak mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula dalam memahami, meniru dan menggunakan bahasa (Butler, 2012). Gangguan pendengaran pada anak disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik, infeksi telinga, obat ototoksit, dan trauma.
b.      Hambatan Perkembangan pada Otak
Hambatan perkembangan pada otak yang menguasai kemampuan oral-motor. Beberapa kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah pada area oral motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan bicara. Akibatnya, anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan rahangnya untuk menghasilkan bunyi tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa sangat didukung oleh perkembangan otak.
c.       Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga belum banyak diteliti korelasinya dengan etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan pula bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak mengalami keterlambatan bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada keluarganya. Neil & Aram (1986) meneliti insidensi gangguan bahasa pada 74 anak dibandingkan dengan 36 orang anak yang perkembangan bahasanya normal. Hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa anak yang mengalami gangguan bahasa memiliki keluarga yang juga mengalami gangguan bicara, gangguan membaca, dan gangguan berbahasa dibandingkan dengan anak yang berkembang normal.
d.      Interaksi dengan Orangtua
Komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi dengan anak membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun.
Orangtua sering malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasanya.
e.       Keterbatasan Fisik
Keterbatasan fisik meliputi kelemahan otot bicara dan bibir sumbing. Hasil penelitian  Schonweiler (1996) menunjukkan bahwa 92% anak yang menderita bibir sumbing mengalami gangguan berbahasa.
Menurut Bishop (2006), penyebab SLI tidak diketahui, tetapi penemuan terbaru menunjukkan bahwa SLI memiliki hubungan genetik yang kuat. Anak-anak SLI kemungkinan lebih besar memiliki orang tua atau saudara yang lain mengalami kesulitan dan keterlambatan bicara, dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami SLI. Bahkan, 50 sampai 70 persen anak-anak SLI memiliki setidaknya satu anggota keluarga lainnya yang mengalami gangguan atau kesulitan berbahasa.
Lebih lanjut Bishop (2006) menjelaskan bahwa gangguan  SLI memiliki penyebab yang berbeda. Beberapa SLI disebabkan oleh faktor genetik dan beberapa lagi disebabkan oleh lingkungan. Anak-anak yang memiliki defisit tunggal  kurang mungkin untuk diidentifikasi secara klinis sebagai kasus SLI dibandingkan mereka yang memiliki lebih dari satu defisit.
Hal tersebut berarti, apabila seorang anak mengalami defisit fonologis saja atau defisit morfologis saja sukar untuk digolongkan sebagai anak SLI.  Anak SLI mungkin saja mengalami defisit pada semua aspek fonologis, morfologis, sintaktis, semantic, maupun pragmatis. Hal tersebut berarti, defisit yang dialami anak sangat kompleks.
Menurut Cummings (2008), gangguan bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area lain yang mendukung proses  berbicara, seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran. Keterlambatan berbicara dan gangguan berbicara dan berbahasa yang dialami dapat dimulai dari bentuk yang paling sederhana seperti bunyi suara yang sengau atau serak sampai dengan ketidakmampuan untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan mekanisme oral motor dalam menjalankan fungsinya untuk berbicara dan makan.
Gangguan perkembangan artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu satu atau beberapa bunyi. Sering terjadi penghilangan atau penggantian bunyi  sehingga menimbulkan kesan bahwa anak yang mengalami SLI berbicara seperti  anak kecil. Selain itu juga dapat berupa gangguan dalam pitch, volume atau kualitas suara.
Neil dan Aram (1986) meneliti hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian gangguan bicara dan bahasa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa kebanyakan memiliki riwayat keluarga yang juga mengalami gangguan yang sama di bandingkan dengan anak yang normal.
Hasil metanalisis yang dilakukan oleh Cummings (2008) menunjukkan bahwa  penelitian-penelitian terakhir membuktikan bahwa genetik merupakan penyebab SLI. Hal tersebut didasarkan pada beberapa studi keluarga yang menunjukkan tingkat gangguan bahasa SLI yang lebih tinggi pada anak-anak yang memiliki hubungan biologis. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Hidajati (2009) yang meneliti faktor resiko disfasia perkembangan pada anak. Penelitian tersebut mengungkap bahwa salah satu faktor yang  berpengaruh terhadap disfasia perkembangan adalah riwayat keluarga.
Studi epidemiologis dari SLI menunjukkan kerentanan laki-laki lebih besar terhadap gangguan ini. Meskipun angka bervariasi dari antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, prevalensi SLI pada laki-laki secara konsisten dilaporkan lebih besar dibandingkan pada wanita. Tomblin dkk (1997) memperkirakan prevalensi untuk anak laki-laki dan perempuan masing-masing 8 persen dan 6 persen.
Selain hal di atas, salah satu penyebab SLI adalah cacat neurobiologis. Webster & Shevell (2004) menemukan bahwa cacat neurobilogis ditemukan pada anak yang mengalami SLI. Pemahaman tentang neurobiologis akan sangat membantu dalam memprogram intervensi pada anak yang mengalami SLI.
1.3.4        Presentasi Klinis  Anak Yang Mengalami SLI
Presentasi klinis menyangkut  manifestasi linguistik  yang ditunjukkan oleh anak yang mengalami SLI. Manifestasi tersebut berupa penurunan atau defisit dalam  dalam  bidang fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik yang dapat diketahui melalui bentuk-bentuk lingual yang dituturkan.
Fey (1986) mengatakan bahwa anak yang mengalami SLI menunjukkan defisit dalam bidang fonologi, semantik leksikal dan relasional, sintaksis, morfologi, dan pragmatik.   Berkaitan dengan itu, Aguilar & Mediavilla (2002) menjelaskan keterkaitan perkembangan kontrol oral  motorik dengan gangguan bicara dan bahasa pada anak-anak dengan SLI adalah karena mereka tidak mampu bertahan dengan fitur sintaksis dan fitur semantik untuk tata bahasa mereka. Hal ini membuat anak-anak tidak dapat mengembangkan aturan morfofonemik.
Menurut Cummings (2008), defisit bicara anak yang mengalami  SLI berkaitan dengan kesulitan fonologi yang dialami. Anak yang mengalami SLI menggunakan bentuk suku kata yang lebih terbatas dan kurang tersusun  dibandingkan dengan kelompok anak yang berkembang normal ( bentuk V dan bentuk CV berlawanan dengan suku kata CV dan CVC dan non reduplikasi produksi dua suku kata).
Aquilar-Mediavilla dkk (2002) melaporkan, kesulitan utama fonologis anak SLI terkait dengan aturan bahasa yang mengatur sistem bunyi. Masalah kombinasi bunyi pada bentuk suku kata dan/atau kesulitan dalam mengucapkan penanda linguistik seperti penanda jamak  dan penanda lampau. Beberapa bentuk kesulitan fonologis adalah (a) penghapusan suku kata yang lemah seperti puter untuk computer, (b) penghilangan konsonan akhir seperti daw untuk dog, (c) pengulangan seperti buhbuh untuk bubbles, (d) pengurangan  klaster seperti top untuk stop, (e) bunyi henti seperti do untuk zoo,  (f) bunyi depan tat untuk cat, dan (g) bunyi luncur, seperti wing untuk ring.
Keakuratan dalam meproduksi kata yang terdiri dari tiga suku yang dihasilkan oleh anak-anak penderita SLI sangat rendah dibandingkan keakuratan yang dihasilkan oleh kelompok  kontrol. Dalam hal penyederhanaan proses, anak-anak yang mengalami SLI lebih banyak melakukan pengurangan kelompok suku kata dan non suku kata serta menghapus huruf awal dan akhir konsonan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Anak-anak yang mengalami SLI juga secara menonjol lebih sering menghapus konsonan tengah dibandingkan dengan anak (Aguilar-Mediavilla dkk. (2002).
Rice dkk (2000)  meneliti pemerolehan kata kerja lampau yang teratur dan tidak teratur  pada anak-anak penderita SLI berusia antara 5 hingga 8 tahun. Selama periode ini, pemerolehan  reguler past tense-ed oleh anak-anak penderita SLI tertinggal dari  anak-anak dari kelompok kontrol yang berusia lebih muda.
Pada aspek sintaksis, Eadie dkk (2002) melaporkan bahwa anak-anak penderita SLI memperoleh nilai yang kurang baik  dalam hal gabungan kalimat, infleksi kalimat dan morfem non-kalimat. Penelitian Grela & Leonard (2000) juga berkaitan dengan defisit sintaksis yang dialami anak SLI. Hasil penelitian tersebut menunjukkan  bahwa anak yang mengalami  SLI  lebih sering menghilangkan kata kerja bantu  be. Anak yang mengalami SLI juga cenderung untuk menghilangkan bentuk-bentuk tambahan ketika kalimat mengandung struktur kerumitan argumen yang lebih besar.
Penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa anak-anak penderita SLI memiliki penurunan yang signifikan dalam leksikal semantik. Lahey dan Edwards (1999) menemukan bahwa anak-anak penderita SLI membuat lebih banyak kesalahan dalam penamaan gambar dibanding anak-anak berbahasa normal. Perbedaan antara kedua kelompok tersebut signifikan. Selain itu, secara proporsional kesalahan dalam penamaan objek yang terjadi pada anak-anak penderita SLI dikaitkan dengan objek bergambar (seperti sepatu/kaki) dan secara fonologis berkaitan dengan target.
McGregor  (2002) melaporkan bahwa anak-anak  penderita SLI membuat kesalahan secara lebih signifikan ketika penamaan benda yang sesuai dibanding dengan anak seusia dari kelompok kontrol. Salah penamaan secara semantik dan tanggapan tak menentu (misalnya ‘tidak tahu’) membentuk jenis kesalahan dominan pada anak SLI. Rendahnya kemampuan penamaan yang dimiliki oleh anak-anak penderita SLI dikaitkan dengan lemahnya semantik representasi pada anak-anak tersebut.
 Representasi klinis SLI oleh Rapin & Allen (dalam Paul, 2007)  dapat dilihat pada setiap tipe SLI. Klasifikasi  SLI tersebut adalah sebagai berikut:
a.         Receptive/Expressive Phonologic/ Syntactic Deficit Syndrome (PSDS)
Gangguan tersebut adalah bentuk paling umum dari SLI di mana anak memiliki kecenderungan untuk berbicara dalam kalimat pendek sederhana, dengan penghilangan beberapa  fitur gramatikal, juga penyederhanaan produksi ujaran, misalnya pengurangan kelompok konsonan dan terbatasnya kosa kata sehingga ada kecenderungan untuk menggunakan istilah  umum untuk maksud yang lebih spesifik.
b.        Verbal Auditory Agnosia (VAA)
VAA  adalah bentuk gangguan bahasa yang sangat jarang terjadi. Gejala gangguan VAA adalah anak tidak dapat memahami ujaran. Kondisi ini  biasanya terjadi sebagai gejala Landau-Kleffner syndrome. Kondisi tersebut terjadi karena ada penyebab neurologis.
c.         Developmental Verbal Dyspraxia (DVD)
DVD adalah gangguan perkembangan bicara. Anak yang mengalami DVD memiliki pemahaman yang memadai namun perkembangan bicara sangat tertunda, produksi ujaran sangat terbatas dan singkat. Produksi ujaran yang sangat terbatas tidak dapat dijelaskan dalam hal kerusakan struktural atau neurologis dari artikulator. Meskipun banyak pertentangan tentang kriteria diagnostik anak dengan DVD, namun label tersebut paling sering digunakan untuk anak yang ujarannya tidak kompleks dibandingkan dengan ketika mereka memproduksi fonem atau silabe. Anak-anak dengan dyspraxia verbal juga biasanya memiliki masalah melek huruf besar.
d.    Phonologic Programming Deficit Syndrome (PPDS)
Anak yang mengalami (PPDS) berbicara dalam ucapan panjang tapi kurang dimengerti, ujaran yang diproduksi terdengar seperti jargon. Anak dapat berbicara terus-menerus dengan bahasanya sendiri tetapi orang lain tidak dapat memahami apa yang diujarkannya.
e.    Lexical Deficit Syndrome (LSDS)
Anak yang mengalami LSDS  memiliki kesulitan dalam  menemukan  kata (word finding). Selain itu, anak juga kesulitan menempatkan ide-ide dalam kata-kata. Anak tidak mampu  menghubungkan ujaran.
f.     Semantic-Pragmatic Deficit Syndrom (SPDS)
Anak yang mengalami  SPDS berbicara dengan fasih dan bentuk yang tepat serta artikulasi  yang memadai, namun anak lemah dalam giliran berbicara  dalam percakapan. Anak yang mengalami SPDS juga lemah dalam mempertahankan topik.

1.3.5        Intervensi Klinis
Anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa seperti SLI, perlu mendapat penanganan yang lebih dini dan lebih baik. Menurut van Tiel (2011), penanganan anak yang menyandang gangguan bahasa sebaiknya dilakukan dua arah. Dalam hal ini, peneliti tidak hanya melihat kelemahan anak tetapi juga kekuatannya agar anak tidak merasa tertekan.
Intervensi untuk anak-anak dengan SLI bisa melibatkan proses belajar untuk membedakan antara produksi ujaran yang benar dan yang salah. Intervensi artikulasi dapat mengajarkan produksi ujaran yang benar  dalam berbagai konteks. Menurut Hernawati (2009), intervensi SLI dari segi fonologis dapat berfokus pada pengajaran aturan tertentu dalam berbicara dengan harapan dapat menghilangkan pola kesalahan fonologis, misalnya  penghapusan konsonan akhir dengan target ujaran tertentu di beberapa posisi akhir suku kata.
Anak dengan SLI yang mengalami defisit sintaksis dapat diintervensi dengan berbagai teknik. Hasil penelitian Gillam ( dalam Clark & Kamhi, 2009) menunjukkan bahwa strategi imitasi, pemodelan, dan produksi menimbulkan dampak  yang besar pada anak-anak dengan kesulitan sintaksis ekspresif.
Mortimer (2003) menyebutkan beberapa bentuk intervensi yang dapat dilakukan untuk  meningkatkan kemampuan berbicara pada  anak dengan ganguan bahasa ekspresif, yaitu: a) bermain menggunakan boneka dan telepon untuk mendorong vokalisasi b) bermain bersama dalam kelompok kecil sehingga anak memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendengar dengan sungguh-sungguh dan mengulanginya c) Latihan membuat gerakan mulut, lidah dan suara saat berbicara dengan jelas di depan kaca secara bersama-sama, d) ketika anak mengucapkan suatu kata secara tidak jelas, jangan meminta anak untuk mengatakannya  dengan benar. Sebaiknya ulangi kata tersebut dengan jelas  kepada mereka sehingga mereka  dapat mendengar versi yang benar.
Intervensi biasanya dilakukan oleh terapis wicara dan bahasa yang menggunakan berbagai teknik untuk merangsang pembelajaran bahasa.  Pada tahun 1990-an, para ahli mengembangkan model intervensi berbasis pelatihan, misalnya pelatihan tata bahasa dan penggunaan imitasi. Model tersebut kemudian kurang berkembang karena dianggap terlalu kaku.
Pendekatan kontemporer dianggap lebih  baik untuk meningkatkan perkembangan struktur bahasa karena membawa anak pada situasi alami komunikasi. Terapis melakukan intervensi didasarkan pada ucapan-ucapan anak , bukan mendikte apa yang akan dibicarakan. Di samping itu, fokus intervensi yang dulu semata-mata pada tata bahasa dan fonologi, berkembang kepada penggunaan bahasa sosial anak.
Hasil studi pustaka yang dilakukan oleh Dachrud (2010) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil metanalisis terhadap intensitas terapi pada pemulihan bahasa penderita afasia, ada indikasi bahwa terapi yang intensif sekalipun dalam waktu yang singkat akan dapat meningkatkan hasil pada terapi bahasa dan bicara bagi penderita afasia. Hal tersebut berarti bahwa dalam merancang intervensi, perlu mengutamakan intensitas dibandingkan lamanya sesi intervensi.
Pelaksanaan intervensi pada anak dengan SLI memerlukan dukungan kemampuan pada anak  tentang hal-hal berikut:
a.         Konsentrasi
Konsentrasi adalah kemampuan anak untuk mempertahankan perhatian atau memusatkan perhatian (Van Tiel, 2011). Kemampuan ini berkaitan dengan sistem regulasi kesadaran yang berpusat di bagian tengah otak. Sistem regulasi sangat penting bagi manusia dalam menghubungkan dirinya dengan dunia luar (Petersen, 2009).
 Rentang atensi atau  lamanya waktu yang digunakan anak untuk menekuni suatu kegiatan dapat diamati sesuai usia. Rata-rata rentang atensi  pada anak usia 2 tahun selama 7 menit,  usia 3 tahun selama 9 menit, usia 4 tahun selama 12 menit, usia 5 tahun selama 14 menit.
Kemampuan memusatkan perhatian berbeda-beda, semakin berkembang, anak semakin mampu menseleksi stimulus yang ada dan makin mampu memusatkan perhatian. Meskipun gangguan konsentrasi ini juga dapat terus terjadi sampai usia dewasa.
Dengan demikian, perilaku seseorang akan cukup baik jika fungsi kesadaran untuk melakukan hubungan dengan dunia luar juga baik. Bila seorang anak mempunya perilaku terlalu aktif dan kurang dapat mempertahankan perhatian, maka proses perkembangan bahasa dan bicaranya juga akan terhambat. Oleh karena itu, anak yang terlambat bicara biasanya karena lebih memusatkan perhatiannya pada belajar berjalan atau berlari. Tan mengatakan, meskipun anak sedang berkonsentrasi pada hal lain, namun kita bisa memanfaatkan apa yang sedang berkembang pesat untuk membantu belajar berbicara ( Van Tiel, 2011).
Anak-anak berada  di bawah dominasi kerja belahan otak kanan (Sudono, 2000). Perkembangan konsentrasi ke arah ini dapat dimanfaatkan untuk belajar bahasa sambil menyanyi, sambil menggambar, dan sambil menari.
b.        Pemrosesan Informasi Auditory
Informasi auditory dapat diamati dalam bentuk kemampuan membedakan ritme dan melodi, kemampuan memahami bahasa dengan cara membacakan suatu cerita dalam bentuk teks, (anak diminta mengulangi cerita, menceritakan kembali dalam gambar yang tersedia), dan kemampuan memori verbal dengan menyebutkan beberapa kata lepas tanpa makna ( van Tiel, 2011).
c.         Oral Motor
Oral motor adalah otot-otot seputar mulut yang membantu pembentukan suara (van Tiel, 2011). Anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan seringkali juga mengalami gangguan motorik halus yang antara lain akan terlihat pada motorik yang mengatur bicara dan jari. Kelemahan oral motor dapat ditandai pada anak yang  sering melongo bahkan mengeluarkan air liur atau anak yang sangat lambat menghabiskan makanannya. Anak yang mengalami kelemahan oral motor dapat dibantu dengan memberikan camilan keras, meniup balon atau meniup balon air sabun, dan meniup terompet.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam intervensi gangguan berbahasa adalah pendekatan multisensorik. Menurut Paul & Norbury (2007), pendekatan multisensorik didasarkan pada asumsi bahwa anak akan belajar dengan baik apabila materi pengajaran disajikan dalam berbagai modalitas alat indera. Dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, anak  perlu diberikan  berbagai stimulus yang dapat mestimulasi berbagai indera/sensoris, seperti indera visual, auditif, kinestetik, dan taktil.
1.3.6        Metode Stimulasi
Metode stimulasi adalah metode yang dirancang untuk merangsang satu atau beberapa indera. Stimulasi memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai perkembangan yang optimal. Stimulasi yang tepat adalah sesuai dengan tahapan perkembangan anak.
Salah satu penyebab terhambatnya perkembangan bahasa yang paling umum  dan paling serius adalah ketidakmampuan orang tua untuk mendorong/memotivasi anak berbicara, bahkan pada saat anak mulai berceloteh. Anak yang tidak diberikan stimulasi untuk berceloteh akan menghambat kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Kurangnya stimulasi merupakan penyebab serius keterlambatan berbicara anak.
Menurut Hernawati (2009), metode stimulasi dilakukan berdasarkan prinsip pengamatan terhadap suatu stimulus melalui pendengaran dan atau penglihatan anak. Dengan mengembangkan berbagai kemampuan pengamatan yang dimiliki anak, kita memberikan stimulus melalui penglihatan dan atau pendengarannya. Melalui cara ini anak akan menerima cara bicara yang benar, kemudian dibandingkan dengan konsep bicaranya yang salah. Bila cara bicara yang benar tadi semakin diperkuat dengan diulang terus-menerus, maka akan terjadi proses perpindahan dari bicara yang salah menjadi bicara yang benar secara menetap. Metode ini dapat juga digunakan untuk menanamkan pengertian bahasa dengan cara menstimulasi anak melalui berbagai media yang menarik perhatian anak, seperti gambar dan foto.  
Dalam menanamkan pengertian bahasa pada anak, penting untuk selalu memperbincangkan hal-hal yang sedang mengasyikan anak. Kata-kata dan artinya paling baik dipelajari dalam keadaan sewaktu bermain. Mitra tutur anak  memperkatakan apa yang dilihat, diperbuat, dan dipikirkan anak. Setiap saat merupakan kesempatan bagi anak untuk belajar berbahasa. Mitra tutur anak harus berusaha untuk mengerti isyarat gerak yang diperbuat anak, mengerti bunyi yang diucapkannya, kemudian membahasakannya sehingga anak dapat memahami betul kata-kata yng diucapkan dengan aktivitas yang dilakukan.
Pendekatan lain yang tak kalah penting adalah peran orang tua atau keluarga dekat anak. Orang tua atau keluarga dekat  lebih mungkin untuk terlibat secara langsung pada intervensi anak, terutama dengan pada anak-anak prasekolah.
Menurut Hernawati (2009), dalam melakukan intervensi, ada beberapa prinsip umum yang perlu diterapkan.
a.      Mengikuti Upaya Anak untuk Berbicara
Anak tidak perlu dipaksa untuk berbicara karena memaksa anak akan sia-sia. Hal penting yang harus dilakukan adalah mengikuti terus-menerus upaya anak untuk berbicara. Anak berceloteh perlu dibiarkan tanpa harus memaksa anak untuk memperbaiki ucapannya. Sedapat mungkin setiap ucapan anak diucapkan kembali. Apabila anak menunjukkan upayanya untuk berbicara atau berkomunikasi, anak perlu memberikan suatu penghargan atau pujian.
b.      Memancing Anak untuk Berbicara
Memancing anak untuk berbicara dapat dilakukan dengan cara bertanya. Namun penting untuk diketahui bahwa bertanya dengan menggunakan kata “apa ini?” atau “apa itu?” pada anak yang terlambat perkembangan bicara dan bahasanya dipandang kurang efektif. Memancing anak untuk berbicara lebih baik dengan mengajukan kalimat-kalimat yang harus dilengkapi (misalnya; ‘ Ini ………..”). Jika anak tidak menjawab, hendaknya kita mengisi kalimat itu sendiri setelah menunggu sebentar.
Memancing anak untuk berbicara dapat juga dilakukan dengan menggunakan jawaban yang salah jika anak bertanya. Penaman yang salah pada sesuatu benda juga dapat memancing anak berbicara, misalnya: “Ini topi” ( untuk gambar bola).
c.       Lingkup Minat dan Kesukaan Anak
Dalam upaya membuat anak berbicara, hal-hal yang dilakukan atau yang dibicarakan hendaknya termasuk dalam lingkup minat dan kejadin-kejadian menyenangkan yang dialami anak. Hal tersebut akan menunjukkan kepada anak  bahwa dia diperhatikan. Dengan memperhatian minat dan kesukaannya,  anak akan bersemangant dan termotivasi untuk berbicara.
d.      Penyediaan Ruangan
Ruangan hendaknya dibatasi serta usahakan sedapat-dapatnya ruangan itu miskin stimulus, sehingga perhatian anak tertuju pada kita dan aktivitas yang sedang dilakukan. Sekali ditentukan mainan yang akan dimainkannya, hendaknya jangan mengubah-ubah terlalu sering. Pembatasan stimulus dalam ruangan hanya jika intervensi yang dilakukan untuk imitasi pengucapan.
e.       Mainan
Memiliki dua mainan yang sama akan lebih baik. Misalnya jika ingin meperagakan sesuatu, akan lebih mudah jika menggunakan dua mainan, sehingga kita dapat meniru apa yang diperagakan anak dan anak dapat meniru/memperagakan apa yang kita peragakan dengan menggunakan mainannya sendiri.
f.       Memacu Kontak
Seorang anak dengan gangguan dalam berkomunikasi, harus belajar mengadakan kontak (menjalin hubungan). Untuk melatih anak mengadakan kontak, kita harus mulai dengan memasuki dunia anak dalam bermain, menjadikan kita sebagai bagian dari kehidupan anak dan teman bermainnya. Pada awalnya keikutsertaan kita berlangsung pada tingkat sederhana, kemudian perlahan-lahan mencapai tingkat yang lebih rumit. Dari kontak mencapai komunikasi melalui bahasa tubuh seperti mimik dan gerak isyarat. Dari bahasa tubuh berangsur-angsur sampai kepada bicara.
g.      Menunggu Giliran
Anak-anak dengan keterlambatan berbahasa dan berbicara, kadang-kadang tidak tahu bagaimana harus bergilir sebagai pembicara dalam suatu percakapan. Kita dapat melatihnya melalui kegiatan bermain giliran. Dalam kegiatan ini, anak dilatih kapan saat-saat menunggu dan kapan harus beraktivitas.
h.      Mengarahkan Perhatian
Apabila anak mengalami kesulitan untuk mengarahkan perhatiannya, banyak stimulus yang diabaikan dari pengamatannya. Kita dapat mengarahkan perhatian anak dengan memberinya berbagai stimulus. Stimulus yang diberikan tidak hanya secara lisan, tetapi juga dengan cara merasakan, atau melihat bagaimana tindakan tertentu berlangsung. Apabila menggunakan media, hendaknya dipilih bahan yang warna, bentuk dan bunyinya menarik perhatian anak.
1.3.7    Mean Length of Utterance (MLU)
MLU merupakan pengukur untuk perkembangan sintaksis anak. Menurut Brown (1973), cara menghitung MLU dapat dilakukan dengan beberapa langkah, pertama mengambil sampel sebanyak 100 ujaran. Kedua, menghitung jumlah morfemnya. Ketiga, membagi jumlah morfem dengan jumlah ujaran, seperti pada rumus berikut:
Jumlah Morfem
MLU = ————————-
Jumlah ujaran

Brown (1973) membagi tahap pemerolehan bahasa anak berdasarkan MLU anak menjadi sepuluh tahap, yaitu :
1.     Tahap I MLU (1—1,5)  pada usia 12—22  bulan
2.     Tahap II MLU (1,5—2,0) pada usia 27—28 bulan
3.     Tahap III MLU (2,0—2,25) pada usia 27-28 bulan
4.     Tahap IV MLU (2,25—2,5) pada usia 28—30 bulan
5.     Tahap V MLU (2,5—2,75) pada usia 31—32 bulan
6.     Tahap VI MLU (2,75—30,0) pada usia 33—34 bulan
7.     Tahap VII MLU (3,0—3,5) pada usai 35—39 bulan
8.     Tahap  VIII  MLU (3,5—3,45) pada usia 38—40 bulan
9.     Tahap IX  MLU (3,5—3,45) pada usia 41-46 bulan
10.   Tahap X MLU (4,5+) pada usia +47 bulan
Pengukuran MLU sangat dibutuhkan untuk menilai kinerja bahasa anak yang mengalami SLI agar dapat menyusun program intervensi sesuai kebutuhan anak.