wisdomania.com
Senin, 23 Maret 2015
Setiap Anak Memiliki Hak Kasih Sayang Yang Sama
Sebuah keluarga yang dikarunia anak lebih dari satu, potensial menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap anak-anak mereka. Memiliki lebih dari satu anak mungkin berakibat membandingkan anak anda satu sama lain.Seorang anak yang memiliki kecakapan khusus, yang kebetulan 'disukai' atau menjadi obsesi orang tua sejak kecil, cenderung menerima perlakuan 'plus' dari orang tua.
Jika anak kedua tidak bisa memakai pakaian secepat saudaranya, jangan mengatakan, “Lihatlah kakakmu, dia bisa melakukannya dengan cepat. Mengapa kamu tidak bisa melakukannya juga? ” Perbandingan hanya akan membuat anak anda merasa bingung dan menjadi kurang percaya diri. Anak-anak bahkan mungkin membenci orang tua mereka karena mereka selalu mendapatkan perlakuan buruk dari perbandingan tersebut (terhadap kakak, adik, atau anak-anak lain), sedangkan perkembangan setiap anak berbeda.Daripada membandingkan anak-anak anda, orang tua harus membantu untuk menyelesaikannya. Misalnya, ketika anak mengalami masalah mengenakan pakaian mereka sementara saudara mereka bisa melakukannya lebih cepat, orang tua harus membantu mereka untuk melakukannya secara benar.
Setiap orangtua disadari atau tidak memiliki anak kesayangan meski kadang mereka tak mau mengungkapkannya. Perbedaan perlakuan terhadap anak yang dinilai lebih baik, penurut atau lebih berprestasi berakibat pada munculnya rasa cemburu dari anak yang lain bahkan tudingan pilih kasih pun diluncurkan.
Pada dasarnya orangtua tak bermaksud membeda-bedakan kasih sayang pada anak-anaknya. Namun, yang terjadi adalah orangtua lebih dekat dengan salah satu anak dan hal tersebut menimbulkan persepsi perbedaan kasih sayang karena ada kecenderungan lebih yang dekat dengan orangtua adalah anak emas atau anak kesayangan.Tak dapat dipungkiri kecenderungan lebih dekat dengan satu anak dibandingkan dengan anak lainnya menimbulkan perlakuan istimewa yang berbeda dengan yang lainnya dan dampaknya memunculkan sikap cemburu, iri, dengki bahkan permusuhan yang dapat berujung pada pemutusan tali persaudaraan."Kalau intensitas kedekatan hubungan antara orangtua dan salah satu anak lebih dekat maka akan menimbulkan persepsi sikap pilih kasih. Apabila orangtua sangat mencolok memperlihatkan sikap intensitas kedekatannya pada salah satu anak justru akan menimbulkan dampak buruk terutama hubungan anak dengan orangtua pun menjadi tidak harmonis.Oleh sebab itu, orangtua dituntut untuk bersikap adil baik berupa ucapan maupun tindakan di depan anak anaknya.Memang tidak mudah menjadi orangtua dan berlaku adil kepada semua anak-anak. Orangtua tentu mesti mengerti bahwa jika sikap pilih kasih itu terjadi, antara kakak dan adik tidak akan lagi bersikap harmonis, tetapi justru akan muncul percekcokan dan perselisihan yang akhirnya mengarah pada kebencian sesama anggota keluarga.Dia melanjutkan apabila salah satu anak telah mengungkapkan rasa protesnya maka sebaiknya orangtua harus sesegera mungkin meluruskan pandangan anak tersebut. Apabila anak telah mengeluarkan ungkapan kecemburuan seperti "Mama selalu begitu, deh, lebih sayang sama Kakak. Kalau sama aku, pasti marah-marah melulu." Orangtua sebaiknya mulai intropeksi dan memberi perlakuan yang sama bagi anak-anaknya.
Orangtua perlu bijak memberikan perhatian, termasuk dalam menyikapi kecemburuan kasih sayang antara kakak-adik dalam keluarga. Bahkan dibutuhkan strategi jitu dalam menghadapi anak-anak di rumah. Jangan sampai sikap orangtua membuat anak berpikir, kakak atau adiknya lebih diperhatikan daripada kepentingannya."Lebih menyedihkan lagi, jika anak berkata bahwa ia tak merasa dicintai orangnya, karena menurutnya ibu atau ayahnya pilih kasih. Perhatian orangtua penting bagi anak. Karenanya, ibu atau ayah perlu memberikan perhatian yang tepat sesuai kebutuhan anak. Memberikan perhatian kepada anak bukan dengan membagi perhatian tetapi melipatgandakannya.Orangtua tidak boleh membagi perhatian kepada anak-anaknya. Namun, yang perlu dilakukan adalah mengkalilipatkan cinta. Jika memiliki empat anak, berikan cinta lima kali lipat. Ibu harus memberikan perhatian kepada semua anaknya, pasangannya, dan dirinya sendiri."Kualitas cinta yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga harus sama, walau bentuknya berbeda. Selain melipatgandakan cinta dan perhatian kepada anak, orangtua juga perlu mahir berkomunikasi. Anak takkan merasa ibu atau ayahnya pilih kasih, jika mereka mendapatkan penjelasan dari sikap orangtuanya.Ketika orangtua memperlakukan kakak berbeda dengan adiknya, karena perbedaan usia atau karakter, maka berikan penjelasan tentang itu. Anak perlu memahami mengapa sebagai orangtua membedakan perlakuan terhadap anak-anak di rumah."Karena itu komunikasi sangat penting. Orangtua harus selalu belajar agar pesan yang dikomunikasikannya bisa sampai dan diterima dengan baik oleh si anak.
Senin, 16 Maret 2015
Menangani Anak Yang Terlambat Bicara (Disfasia, SLI)
Setiap manusia yang
hidup akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan dan perkembangan dialami oleh
seorang anak secara berdampingan. Meskipun pertumbuhan dan perkembangan sering
digunakan secara bersama-sama, kedua istilah tersebut merupakan hal yang
berbeda.
Menurut Hurlock (1978),
pertumbuhan berkaitan dengan perubahan
kuantitatif, yaitu peningkatan ukuran dan struktur sedangkan perkembangan berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif yang teratur dan
koheren. Hal tersebut berarti pertumbuhan berkaitan dengan masalah
perubahan dalam besar, jumlah, atau ukuran yang dapat diukur dengan ukuran
berat dan ukuran panjang, sedangkan
perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dari seluruh bagian tubuh sehingga masing-masing dapat memenuhi
fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku
sebagai hasil interaksi dengan lingkungan.
Santrock (2007) membagi
aspek pertumbuhan dan perkembangan
manusia atas tiga aspek. Pertama,
aspek pertumbuhan fisik berupa
perubahan ukuran tubuh, proporsi anggota badan, tampang, dan perubahan dalam
fungsi-fungsi dari sistem tubuh seperti perkembangan otak, persepsi dan gerak
(motorik), serta kesehatan. Kedua, aspek perkembangan kognitif berupa perubahan yang bervariasi dalam proses
berpikir dalam kecerdasan termasuk rentang perhatian, daya ingat, kemampuan
belajar, pemecahan masalah, imajinasi, kreativitas, dan kemampuan dengan
mengunakan bahasa. Ketiga, aspek perkembangan
sosial-emosional berupa perkembangan berkomunikasi secara emosional,
memahami diri sendiri, kemampuan untuk memahami perasaan orang lain,
pengetahuan tentang orang lain, keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain,
menjalin persahabatan, dan pengertian tentang moral.
Berkaitan dengan
kemampuan berbahasa, Lenneberg (1967) menjelaskan bahwa kemampuan berbahasa
seseorang berjalan searah dengan pertumbuhan fisiknya. Menurutnya, perkembangan bahasa bergantung pada pematangan otak
secara biologis. Pematangan otak memungkinkan ide berkembang dan selanjutnya
memungkinkan pemerolehan bahasa anak berkembang.
Piaget (1959) mengemukakan
hal yang berbeda tentang kemampuan berbahasa. Menurutnya, perkembangan
kemampuan berbahasa seseorang tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik
melainkan oleh perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif sangat mempengaruhi
perkembangan bahasa seseorang. Bahasa didasarkan pada nalar. Oleh karena itu,
perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dalam
kognisi. Struktur bahasa muncul sebagai interaksi yang terus-menerus antara
tingkat kognitif seseorang dengan lingkungannya.
Hubungan timbal balik
antara bahasa dan pikiran dikemukakan
oleh Vigotsky (1962). Menurutnya, bahasa dan pikiran saling mempengaruhi. Pikiran
dan bahasa pada tahap permulaan berkembang secara terpisah, dan tidak saling
mempengaruhi. Jadi, mula-mula pikiran berkembang tanpa bahasa, dan bahasa
mula-mula berkembang tanpa pikiran. Lalu pada tahap berikutnya, keduanya
bertemu dan bekerja sama, serta saling mempengaruhi. Begitulah anak-anak
berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan menggunakan pikiran.
Terlepas dari perdebatan
di atas, pada kenyataannya bahasa sangat berkaitan dengan pikiran seseorang.
Kematangan berpikir seseorang akan tampak pada bahasa yang digunakannya.
Demikian pula sebaliknya, kemampuan berbahasa seseorang akan membantu kemampuan
berpikirnya.
Bahasa sangat berperan
dalam interaksi. Belajar melalui proses
interaksi adalah proses penting dalam menjadikan seseorang bertumbuh dan berhasil dalam menjalani
kehidupannya. Melalui bahasa, seseorang dapat menyatakan pikiran dan perasaan
kepada orang lain. Melalui bahasa pula seseorang dapat memahami pikiran dan perasaan orang lain.
Menurut Hurlock (1978) perkembangan
bahasa anak ditempuh melalui cara yang sistematis dan berkembang bersama-sama
dengan pertambahan usianya. Anak mengalami tahapan perkembangan yang sama namun
yang membedakan antara lain: sosial keluarga, kecerdasan, kesehatan, dorongan,
dan hubungan dengan teman. Hal tersebut berarti perkembangan bahasa merupakan
kombinasi dari faktor perkembangan fisik, kognitif, dan sosio-emosional. Kematangan
berbahasa sangat dipengaruhi oleh kematangan fisik, kematangan kognitif, dan
kematangan sosio-emosional. Perkembangan
sosio-emosional merupakan suatu perubahan dalam relasi seseorang dengan orang
lain.
Kemampuan berbahasa
yang baik dapat dilihat pada perkembangan
fungsi reseptif dan fungsi ekspresif. Fungsi reseptif adalah berkaitan
dengan kemampuan anak untuk mengenal dan bereaksi terhadap seseorang, terhadap
kejadian lingkungan sekitarnya, mengerti maksud mimik dan suara serta mengerti kata-kata
yang didengarnya. Fungsi ekspresif berkaitan dengan kemampuan anak mengutarakan
keinginannya dan pikirannya. Fungsi ekspresif ini dipengaruhi fungsi reseptif
dan merupakan kemampuan yang lebih kompleks karena anak memulai dengan
komunikasi preverbal, dilanjutkan komunikasi dengan ekspresi wajah, gerakan
tubuh, dan pada akhirnya dengan menggunakan kata-kata atau komunikasi verbal
(Soetjiningsih, 1995).
Fungsi ekspresif dan
fungsi reseptif dapat berkembang baik pada seorang anak. Pada anak tertentu
dapat saja terjadi fungsi ekspresif berkembang baik, tetapi fungsi reseptifnya
kurang berkembang, atau sebaliknya. Pada beberapa anak, juga dapat ditemukan fungsi ekspresif dan fungsi reseptif
sama-sama tidak berkembang.
Keadaan anak yang
terganggu fungsi ekspresif dan atau fungsi reseptifnya kadang-kadang tidak
disadari oleh orangtua. Pada saat anak sulit berinteraksi dengan teman sebaya,
kadang-kadang orangtua baru menyadarinya. Menurut Kaplan & Sadock (1997),
pada kondisi tersebut, anak hanya dianggap terlambat berbicara sehingga
seringkali tidak ditangani secara benar.
Dalam perkembangannya,
seorang anak yang mengalami masalah dalam fungsi ekspresif akan sulit
dimengerti oleh orang lain di sekitarnya. Rintala & Linjala, (2003) menjelaskan bahwa gangguan
bahasa ekspresif umumnya terdiri dari masalah artikulasi, masalah suara,
masalah kelancaran berbicara (gagap), afasia (kesulitan dalam menggunakan
kata-kata, biasanya akibat cedera otak) serta keterlambatan dalam bicara atau
bahasa. Biasanya
hanya orang tua dan keluarga terdekat yang berada dalam satu rumah dengan anak
yang bisa memahaminya. Guru dan teman-teman biasanya kurang memahami maksud
ucapan anak yang mengalami gangguan bahasa ekspresif.
Gangguan bahasa
ekspresif yang dialami seorang anak seringkali membuat anak mendapat perlakuan
yang berbeda dari teman-temannya, bahkan
menjadi bahan tertawaan. Hal tersebut akan menyebabkan anak frustrasi untuk
membuat temannya mengerti maksud yang disampaikannya. Bahkan pada beberapa
kasus, ada anak yang menyakiti diri sendiri karena frustasi. Menurut Monk (1989), anak yang fungsi
ekspresif dan atau fungsi reseptifnya tidak normal seperti di atas dapat
berarti menderita gangguan bicara dan bahasa.
Gangguan bicara dan
gangguan bahasa adalah dua hal yang berbeda. Menurut The American Speech-Language Hearing Association (ASHA), seseorang
disebut mengalami gangguan
bicara ketika
seseorang tidak dapat menghasilkan bunyi ujaran dengan benar/lancar atau ketika
seseorang memiliki masalah suara. Salah satu contoh gangguan bicara adalah
kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi ujaran. Gangguan bicara biasanya gejala dari suatu keadaan,
seperti gangguan pendengaran, retardasi mental, autisme, serta gangguan
otot-otot mulut dan pernafasan. Ketika seseorang tidak mampu menghasilkan ujaran
yang benar atau lancar, maka orang
itu memiliki gangguan bicara.
Beberapa ahli menyebut
gangguan bicara sebagai gangguan artikulasi. Menurut The American Speech-Language-Hearing Association, gangguan artikulasi adalah meliputi gangguan dalam menghasilkan bunyi bahasa,
dapat berupa penggantian bunyi, penghilangan bunyi, penambahan bunyi atau pengubahan
bunyi. Gangguan artikulasi dapat pula mempengaruhi tingkat fonetik
dimana anak memiliki
kesulitan mengucapkan konsonan atau vokal tertentu. Gangguan
bahasa disebut pula dengan gangguan fonemis atau gangguan fonologis. Gangguan fonologis melibatkan pola kesalahan bunyi sampai
melampaui tahap perkembangannya, misalnya
anak
mengganti semua bunyi belakang mulut
seperti
/k/ dan /g/ menjadi /t/ dan /d/).
Pada gangguan artikulasi kesulitan anak berada pada tingkat
fonetik. Artinya, mereka memiliki kesulitan membuat bunyi
ujaran, meskipun tidak ada
yang salah
dengan artikulator mereka.
Dalam gangguan fonologis kesulitan anak berada pada
tingkat fonemis atau dalam pikiran. Gangguan artikulasi atau gangguan bicara
dapat terjadi bersama dengan gangguan berbahasa atau gangguan
fonologis yang berarti seorang anak mengalami keduanya.
The
American Speech-Language-Hearing Association menyatakan bahwa
gangguan bahasa adalah kelemahan dalam memahami dan atau menggunakan percakapan
atau menulis berbagai sistem simbol yang lain. Gangguan tersebut mungkin
melibatkan bentuk-bentuk bahasa (fonologis, morfologis, dan sintaksis), isi
bahasa (semantis), dan fungsi bahasa (pragmatis) atau gabungan berbagai aspek
di atas. Jadi, ketika seseorang memiliki kesulitan memahami orang lain (bahasa reseptif), atau kesulitan berbagi gagasan atau perasaan (bahasa ekspresif) kepada orang lain, maka ia memiliki
gangguan bahasa.
Menurut
Hernawati (2009), gangguan berbahasa ditandai dengan ketidakmampuan anak untuk
berdialog interaktif, ketidakmampuan memahami pembicaraan orang lain, mengerti
dan atau menggunakan kata-kata dalam konteks yang ‘nyambung’ baik verbal maupun non verbal, ketidakmampuan membaca
dan mengerti apa yang dibaca, serta ketidakmampuan mengekspresikan pikiran
melalui kemampuan berbicara atau menyampaikan pesan lewat bahasa tulisan. Beberapa karakteristik dari gangguan berbahasa
meliputi penggunaan kata yang tidak tepat, ketidakmampuan untuk
menyampaikan pendapat, ketidaktepatan dalam penggunaan pola gramatikal,
kosakata yang minimal, dan ketidakmampuan untuk mengikuti instruksi.
Seorang
anak yang mengalami gangguan berbahasa mungkin saja dapat mengucapkan suatu
kata dengan jelas tetapi ia tidak dapat menyusun dua kata dengan baik.
Sebaliknya, ucapan seorang anak mungkin sedikit sulit untuk dimengerti, tetapi
anak tersebut dapat menyusun kata-kata yang benar untuk menyatakan
keinginannya.
Anak yang mengalami
gangguan bicara dan bahasa dapat mengalami hambatan dalam perkembangan
literasi, termasuk membaca, menulis, bicara, mendengar, dan berpikir. Keterampilan berbicara, menyimak, membaca,
menulis, dan berpikir keterampilan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang.
Seorang anak yang mengalami hambatan-hambatan tersebut akan menarik diri dari
pergaulan sehingga sangat berpengaruh pada kehidupan anak kelak.
The Royal
College of Speech and Language Therapists memperkirakan
bahwa 2,5
juta orang di
Inggris memiliki gangguan komunikasi. Dari jumlah ini, sekitar 800.000 orang memiliki gangguan
yang begitu parah sehingga sulit bagi siapa pun di luar keluarga mereka untuk
memahami mereka
(Cummings, 2008). Law dkk (2010) memperkirakan ada sekitar 6% anak-anak mengalami kesulitan bicara dan
bahasa.
Anak-anak tersebut kemungkinan memiliki masalah jangka panjang mengenai
literasi, sosialisasi, perilaku dan prestasi sekolah.
Prevalensi anak yang mengalami gangguan bicara dan bahasa di
Indonesia memang belum ada angka pasti.
Namun untuk kondisi Sulawesi Tengah, Badan Pusat Statistik
(2010) mencatat bahwa penduduk yang mengalami kesulitan berkomunikasi
berjumlah 31.422 orang
dari 2.635.000 orang penduduk
Sulawesi Tengah (www.bps.go.id., diakses tanggal 25 Maret 2012).
Gangguan bicara dan bahasa yang dialami anak sangat
beragam. Salah satu gangguan bicara dan bahasa yang biasa dialami oleh anak
adalah specific language impairment
(SLI). SLI adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada seorang anak yang secara substansial perkembangan bahasanya di bawah tingkat usia, tanpa
penyebab yang jelas (Bishop, 1997).
Survei di Amerika Serikat membuktikan bahwa sejumlah
7% anak sekolah dasar mengalami SLI (Bishop & Leonard, 2000). SLI juga biasa
disebut dengan istilah bahasa tertunda, namun penggunaan istilah
bahasa tertunda menyiratkan bahwa anak sedang mengembangkan bahasa namun terlambat,
sedangkan karakteristik linguistik
untuk keduanya,
bahasa tertunda dan SLI
sama. Bahasa tertunda adalah
istilah yang lebih tepat untuk kesulitan
bahasa anak prasekolah,
dan SLI dianggap lebih
tepat untuk menyebut anak yang usia
lebih tua yang mengalami jenis
kesulitan bahasa (Whitehurst & Fischel, 1994).
Guibert (2011) dan Dlouha (2003) menyebut SLI dengan
istilah disfasia perkembangan. Namun istilah disfasia perkembangan dianggap
kurang cocok karena disfasi berasal dari afasia yang berarti ketidakfasihan
berbahasa karena adanya gangguan pada otak. Tallal (1978) mendefinisikan disfasia perkembangan sebagai
gangguan perkembangan bahasa dan bicara ekspresif dan atau reseptif pada anak
tanpa gangguan pendengaran, mempunyai intelegensia yang baik dan lingkungan
yang mendukung. Perkembangan
bahasa di awal-awal kelahiran normal, namun mengalami kemunduran pada tahun
kedua kelahiran.
Anak adalah harapan keluarga dan pilar bangsa di
masa yang akan datang. Pengawalan perkembangan anak menjadi tanggung jawab
setiap orang, bukan hanya keluarga. Perkembangan bahasa menjadi vital karena
kemampuan berbahasa merupakan investasi masa depan bagi anak. Orangtua sebagai
orang terdekat perlu memahami perkembangan bahasa anak yang mengalami SLI.
Pemahaman yang cukup tentang SLI akan
menjadi referensi bagi orangtua untuk melakukan deteksi dini gangguan berbahasa
pada anak. Mengetahui lebih awal akan gangguan berbahasa yang dialami anak sangat
berguna untuk mencegah gangguan yang
lebih parah.
Menurut Ramsden dkk (2001), gangguan berbahasa seperti
SLI dapat menimbulkan berbagai masalah dalam proses belajar di usia sekolah.
Anak yang mengalami keterlambatan bicara dan bahasa beresiko mengalami
kesulitan belajar, kesulitan membaca dan menulis dan akan menyebabkan
pencapaian akademik yang kurang secara menyeluruh. Hal tersebut dapat berlanjut
sampai usia dewasa muda. Selanjutnya orang dewasa dengan pencapaian akademik
yang rendah akibat keterlambatan bicara dan bahasa, akan mengalami masalah
perilaku dan penyesuaian psikososial.
Ramsden (2004) bahkan menegaskan bahwa anak yang
mengalami SLI akan mengalami kesulitan
sosial. Anak SLI kesulitan dalam mengungkap apa yang diinginkan, dipikirkan,
atau yang dirasakannya kepada orang lain secara tepat. Sebaliknya, orang lain
mengalami kesulitan mengetahui apa yang diinginkan, dipikirkan, atau yang
dirasakan oleh anak. Sebagai akibat dari kekurangannya, anak SLI sangat mungkin
mengalami masalah emosional yang berupa citra diri yang buruk, frustrasi, dan
depresi pada usia sekolah. Oleh karena itu, deteksi awal dan intervensi sedini
mungkin memiliki makna penting bagi perkembangan anak SLI selanjutnya.
Melihat sedemikian besar dampak yang timbul akibat gangguan
berbahasa pada anak yang mengalami SLI maka sangatlah penting untuk
mengoptimalkan proses perkembangan bahasa pada periode tertentu. Deteksi dini
gangguan berbahasa pada anak adalah
tindakan yang terpenting untuk menilai tingkat perkembangan bahasa anak
sehingga dapat meminimalkan kesulitan dalam proses belajar anak tersebut saat
memasuki usia sekolah. Beberapa ahli bahkan menyimpulkan bahwa perkembangan
bicara dan bahasa dapat dipakai sebagai indikator perkembangan anak secara
keseluruhan, termasuk kemampuan kognisi dan kesuksesan dalam proses belajar di
sekolah.
Sehubungan
dengan itu, berbagai kajian tentang SLI yang telah dilakukan adalah sebagai berikut.
a.
Van Kleeck, Anna, Gillam, R.B., McFadden
T.U. (1998) melakukan penelitian dengan judul “A Study of
Classroom-Based Phonological Awareness Training for Preschoolers with Speech
and/or Language Disorders”. Dalam penelitian tersebut dilakukan perbandingan
pada 8 orang anak yang mengikuti pelatihan kesadaran fonologis dengan yang
tidak mengikuti pelatihan dua kali seminggu selama 9 bulan. Setiap sesi
dilaksanakan selama 15 menit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak
yang mengikuti pelatihan mengalami perbaikan yang signifikan dalam berima dan
kesadaran fonologis.
b.
Gillon & McNeil (2007) meneliti
efektivitas intervensi kesadaran fonologis pada anak melalui penelitiannya yang
berjudul Integrated Phonological
Awareness An Intervention Program for Preschool Children with Speech Language
Impairment. Pada penelitian tersebut, intervensi kesadaran fonologi terpadu dirancang secara simultan
untuk memfasilitasi produksi ujaran, kesadaran
fonologi dan pengenalan
huruf pada anak-anak prasekolah. Temuan dari penelitian tersebut menunjukkan
bahwa program intervensi
kesadaran fonologi efektif dalam memfasilitasi peningkatan produksi
ujaran, membaca awal dan
perkembangan ejaan pada anak-anak
prasekolah yang mengalami gangguan bicara.
c.
Segers &
Verhoeven (2004) meneliti dukungan komputer untuk meningkatkan kemampuan
fonologis anak yang mengalami SLI. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menentukan apakah anak TK dengan gangguan bahasa tertentu (SLI) dapat mengembangkan
keterampilan kesadaran fonologi melalui
intervensi komputer.
Program
kesadaran fonologi
yang didukung
komputer ini
dilakukan untuk
berbagai item,
termasuk analisis kata, analisis suku
kata, analisis sajak, analisis fonem, sintesis
suku kata, dan sintesis fonem. Dua puluh empat orang
anak TK dengan SLI di Belanda
menjalani 3,5 jam intervensi kesadaran fonologi melalui game
komputer.
Hasil penelitian menunjukkan dampak positif dari intervensi
tersebut untuk keterampilan kesadaran fonologi.
d.
Schmidt (2012) melakukan studi pustaka
yang berjudul “Effective Interventions
for Preschool Children with Specific Language Impairment”. Penelitian tersebut
berfokus pada berbagai defisit morfologi dan sintaksis anak yang mengalami SLI
dan jenis-jenis intervensi yang dilakukan oleh para ahli untuk mengatasi
berbagai defisit tersebut. Schmidt menyarankan intervensi bahasa hybrid sebagai bentuk
intervensi standar
bagi anak yang mengalami
SLI.
Intervensi multidimensi dianggap sebagai
bentuk terapi yang terbaik yang dapat mencakup berbagai
jenis defisit bahasa.
e.
Swanson dkk (2005) juga telah melakukan
penelitian tentang anak yang mengalami SLI. Dalam penelitian yang berjudul Use of Narrative-Based Language Intervention
With Children Who Have Specific Language Impairment tersebut, Swanson dkk meneliti sepuluh anak
usia 7
s.d. 8 tahun yang
mengalami SLI selama 6 minggu.
Intervensi ini menggunakan program narasi
berbasis bahasa. Setiap
kesempatan intervensi menargetkan
isi cerita
dan bentuk-bentuk kalimat. Hasil penelitian menunjukkan 8 anak yang mencapai
perbaikan yang signifikan berdasarkan hasil perbandingan pretest dan posttest.
Selama intervensi, anak-anak
menunjukkan peningkatan kepercayaan diri dalam produksi keterampilan
narasi mereka.
Hampir semua anak menyukai
kegiatan bercerita dibandingkan
tugas latihan imitasi.
f. Sheng and McGregor (2010) melakukan
penelitian yang berjudul Lexical-Semantic
Organization in Children with Specific Language Impairment. Penelitian ini
untuk mengetahui apakah anak-anak dengan
gangguan bahasa tertentu (SLI)
menunjukkan defisit dalam organisasi
leksikal-semantik.
Hasil penelitian menunjukkan anak-anak dengan SLI menghasilkan
respon semantik yang lebih sedikit dan
lebih banyak leksikon yang salah.
Penelitian ini berbeda
karena dilakukan pada kasus tunggal dengan menggunakan ancangan
teori linguistik klinis yang berfokus pada penyebab gangguan berbahasa, presentasi
klinis berupa berbagai defisit kebahasaan serta
intervensi dalam bentuk imitasi dan stimulasi untuk perbaikan beberapa
defisit yang dialami subjek.
Ancangan teori linguistik klinis
tidak dapat dilepaskan dari kontribusi ilmu kedokteran dan praktisinya. Menurut Cummings (2008), dalam rangka menjelaskan proses komunikasi, deskripsi anatomi
dan fisiologis, seperti anatomi dan
fisiologi pendengaran sangat dibutuhkan. Untuk itu perlu
keterlibatan otolaringolog untuk mengetahui bagaimana kondisi struktur
anatomi dan fisiologis pendengaran ini, aapakah berfungsi atau tidak dalam
menghasilkan ucapan dan bunyi.
Spesialis
lain yang sangat dibutuhkan adalah neurolog. Neurologi mempunyai kaitan erat dengan bahasa
karena kemampuan manusia berbahasa bukan
hanya karena lingkungan tetapi karena kodrat neurologis yang dibawa sejak
lahir. Menurut Cumming (2008), neurologi adalah studi
tentang struktur dan fungsi sistem saraf, termasuk sistem saraf pusat (otak dan
sumsum tulang belakang) dan perifersistem saraf (saraf kranial dan spinal) yang
berhubungan dengan bahasa.
Chaer
(2009) juga menjelaskan pentingnya neurologi bagi perkembangan bahasa. Otak memiliki peran yang sangat besar dalam
pemerolehan, pemahaman dan pemakaian bahasa. Proses bahasa itu dimulai dari
enkode semantik, enkode gramatika, dan enkode fonologi, lalu dilanjutkan dengan
dekode fonologi, dekode gramatikal, dan diakhiri dengan dekode semantik. Semua
proses ini dikendalikan oleh otak yang merupakan alat pengatur dan pengendali
gerak semua aktifitas manusia. Tanpa otak dengan fungsi-fungsinya, mustahil
manusia dapat berbahasa.
Peran psikolog juga tidak dapat
dilepaskan dari pengkajian, diagnosa, dan
terapi gangguan berbahasa jika anak yang mengalami gangguan berbahasa
berkaitan dengan gangguan psikis yang dialami, misalnya, anak yang mengalami Attention
Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Anak ADHD yang mengalami gangguan perkembangan dalam peningkatan aktivitas motorik yang berlebihan, sering pula mengalami
gangguan berbahasa.
Kesimpulannya, tidak ada studi
linguistik klinis mampu untuk mengabaikan
peran berbagai spesialisasi medis. Para spesialisasi medis dan praktisi medis sangat dibutuhkan selama pengkajian, diagnosa dan terapi gangguan (jika etiologinya diketahui dari salah satu bidang tersebut).
peran berbagai spesialisasi medis. Para spesialisasi medis dan praktisi medis sangat dibutuhkan selama pengkajian, diagnosa dan terapi gangguan (jika etiologinya diketahui dari salah satu bidang tersebut).
1.2 Fokus
Penelitian
Untuk
menjalin komunikasi antarpersonal diperlukan kemampuan berbahasa. Melalui
bahasa, penutur menyampaikan pesan agar dipahami oleh mitra tutur. Oleh karena
itu, kemampuan berbahasa sangat penting bagi setiap manusia. Bagi anak yang
mengalami mengalami gangguan berbahasa, termasuk SLI, tentu hal tersebut sangat sulit. Gangguan berbahasa pada anak yang mengalami
SLI sangat variatif. Untuk itu, peneliti akan melakukan penelitian ini
berorientasi pada linguistik klinis menggunakan rancangan studi kasus tunggal yang
berfokus pada:
a.
Etilogi atau penyebab gangguan berbahasa
pada anak yang mengalami SLI. Penelitian ini ingin mengungkap penyebab SLI pada
subjek melalui berbagai pemeriksaan klinis oleh beberapa ahli, yaitu pediatrik
(ahli kesehatan anak), psikolog (ahli kejiwaan), neurology (ahli syaraf), dan
otorhinolaringolog (ahli telinga hidung dan tenggorokan) dan penelusuran riwayat keluarga serta
lingkungan berbahasa anak oleh peneliti.
b.
Assessment klinis untuk mengetahui presentasi
klinis gangguan berbahasa pada anak yang mengalami SLI berupa bentuk-bentuk lingual
anak yang mengalami SLI. Bentuk-bentuk lingual tersebut dilihat dari defisit (ketidakmampuan/penyimpangan)
berbagai bidang linguistik, baik fonologis, morfologis, sintaksis,
leksiko-semantis, maupun pragmatis. Assessment klinis untuk mengetahui kondisi
klinis linguistis subjek harus dilakukan untuk mengetahui defisit yang dialami
subjek. Hasil assessment klinis akan digunakan untuk menyusun program
intervensi kepada sunjek.
c.
Pelaksanaan intervensi dilakukan terhadap
subjek berdasarkan defisit-defisit yang dialami. Intervensi bertujuan
meningkatkan kemampuan linguistis subjek sesuai jenis defisit yang dialami.
d.
Hasil
intervensi yang diberikan kepada subjek, apakah ada peningkatan kemampuan
lingustik pada beberapa atau semua
bidang defisit setelah subjek
menjalani intervensi.
1.3 Landasan Teori
Berdasarkan fokus penelitian,
berbagai teori sehubungan dengan perkembangan bahasa anak, etiologi atau penyebab
SLI, presentasi klinis yang meliputi berbagai defisit linguistis dan
metanalisis terhadap berbagai intervensi anak SLI. Pemahaman tentang berbagai
teori yang relevan akan sangat membantu dalam menyelami gangguan berbahasa yang
dialami subjek.
Pemahaman tentang perkembangan
bahasa anak akan sangat mendukung dalam hal menelusuri riwayat subjek dan
memahami penyebab gangguan berbahasa pada subjek. Berbagai hasil penelitian
tentang etiologi SLI dapat dijadikan bahan rujukan untuk memahami penyebab
gangguan berbahasa pada subjek. Sedangkan metanalisis terhadap gangguan
berbahasa dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan intervensi yang
tepat terhadap subjek.
1.3.1
Perkembangan Bahasa Anak
Seorang anak yang
normal akan memperoleh bahasa pertamanya dalam waktu yang relatif singkat
(yaitu kira-kira dari usia 2-6 tahun). Menurut Skinner (1957), seorang anak
akan mengembangkan kemampuan berbahasa jika mendapat stimulus dari orang lain.
Jadi, perilaku berbahasa manusia merupakan perilaku berbahasa yang diteguhkan
melalui perantaraan orang lain. Sejalan dengan itu, perkembangan perilaku
berbahasa bergantung pada faktor lingkungan.
Perkembangan bahasa
anak tidak saja dipengaruhi oleh lingkungan. Perkembangan neurologis dan biologis
berpengaruh terhadap perkembangan bahasa.
Seorang anak yang mengalami cacat neurologis di area bahasa sangat sukar
mengembangkan kemampuannya dalam berbahasa (Chaer, 2009).
Sehubungan dengan
perkembangan biologis, menurut Lenneberg (1967) perkembangan bahasa anak mengikuti jadwal
biologis yang tidak dapat ditawar-tawar. Seorang anak tidak dapat dipaksa atau
dipacu untuk dapat mengujarkan sesuatu, bila kemampuan biologisnya belum
memungkinkan. Sebaliknya, bila seorang anak secara biologis telah dapat
mengerjakan sesuatu, dia tidak akan dapat pula dicegah untuk tidak
mengujarkannya karena memang ada keterkaitan antara perkembangan biologi dengan
kemampuan berbahasanya.
Bahasa memiliki peran yang sangat
penting dalam perkembangan anak. Anak-anak yang cerdas
dalam bahasa menyukai kegiatan bermain yang memfasilitasi kebutuhan mereka
untuk berbicara, bernegosiasi, dan juga mengekspresikan perasaan dan pikiran
dalam bentuk kata-kata. Lust (2006) membagi perkembangan bahasa anak sebagai berikut:
a.
Usia
0-6 bulan anak hanya menangis
b.
Usia
6-12 bulan anak mulai mengoceh dan mulai dapat memahami beberapa kata dan
perintah singkat
c.
Usia
18-24 bulan anak sudah mengusai 3 s.d.
15 kata
d.
Usia
24 bulan ke atas anak dapat membuat
frase
e.
Usia
30 bulan ke atas anak dapat
berkomunikasi intens dan frustasi jika bahasanya tidak dimengerti oleh orang
dewasa
f.
Usia
36 bulan anak menguasai 1000 kosa kata
dan 80% kata yang diucapkan jelas
g.
Usia
di atas 36 bulan bahasa anak relatif stabil
Pada
umumnya, anak usia antara usia 4 sampai dengan 5 tahun sudah menguasai kalimat yang terdiri dari
empat sampai lima kata. Mereka juga mampu menggunakan kata depan, seperti di
bawah, di atas, di dalam dan di samping. Anak lebih banyak menggunakan kata
kerja daripada kata benda. Anak dengan usia antara 5 sampai dengan 6 tahun sudah dapat
mengucapkan kalimat yang terdiri atas enam sampai delapan kata. Anak sudah
dapat menjelaskan arti kata yang sederhana mengetahui lawan kata, menggunakan
kata penghubung, kata depan dan kata sandang. Pada masa akhir usia taman
kanak-kanak, anak umumnya sudah mampu berkata-kata sederhana dan berbahasa
sederhana, cara bicara mereka telah lancar, dapat dimengerti dan cukup
mengikuti tata bahasa walaupun masih melakukan kesalahan berbahasa (Syaodih,
1995).
Perkembangan
bahasa anak tidak terlepas dari perkembangan kognitif. Piaget (1959) membagi tahapan perkembangan kognitif
manusia menjadi empat kategori: (a) tahap sensori motor (usia 0-2 tahun), (b)
tahap praoperasi (usia 2-7 tahun), (c) tahap operasi konkret (usia 7-11 tahun)
dan (d) tahap operasi formal (usia 11 tahun ke atas). Pada usia 2 tahun ke atas, anak sudah mulai berbicara disertai
penguasaan perbendaharaan kata yang meningkat.
Pada
tahap sensori motor dan tahap praoperasi harus terjadi stimulasi pada anak agar
perkembangan selanjutnya dapat berlangsung dengan baik. Jika pada masa tersebut
anak tidak memperoleh stimulus yang tepat, anak akan menghadapi kesulitan. Anak
yang sudah sampai pada tahap kesiapan berbicara, tetapi tidak menerima stimulus
untuk melatih kemampuan berbicaranya, maka ia akan mengalami kesulitan
berbicara (Gunarsa,1989:25, Yunanto, 2004: 64; Arifuddin, 2010: 117)). Tahap
praoperasi yang paling penting adalah anak mulai menggunakan bahasa. Ketika
berusia 4 tahun, biasanya anak lebih lancar menggunakan bahasa (Suparno,
2001:56; Sudono, 2000: 3).
Piaget (1959)
berpendapat bahwa berpikir itu mendahului bahasa dan lebih luas dari bahasa.
Bahasa adalah salah satu cara yang utama untuk mengekspresikan pikiran. Dalam
seluruh perkembangan, pikiran selalu mendahului bahasa.
Sejalan dengan hal di
atas, Vygotsky (1962) menjelaskan bahwa
perkembangan bahasa seiring dengan perkembangan kognitif, bahkan saling
melengkapi. Keduanya berkembang dalam
satu lingkup sosial. Artinya, bahasa dapat membantu perkembangan kognitif.
Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak pada benda-benda baru atau hubungan
baru yang ada di lingkungan, mengenalkan anak pada pandangan-pandangan yang
berbeda, dan memberikan informasi pada anak. Bahasa adalah salah satu dari
berbagai perangkat yang terdapat dalam sistem kognitif manusia.
Anak adalah makhluk
yang aktif dan adaptif namun bersifat egosentris yang proses berpikirnya sangat
berbeda dengan orang dewasa, maka pengalaman belajar disesuaikan dengan
pemahaman mereka. Dalam pandangan Vygotsky (1978), struktur mental atau
kognitif anak terbentuk dari hubungan diantara fungsi-fungsi mental. Dalam hal
ini, hubungan antara bahasa dan pemikiran diyakini sangat penting.
Cummings (2008) juga menegaskan bahawa kognisi merupakan hal mendasar bagi perkembangan keterampilan berkomunikasi. Kelemahan kognitif akan menimbulkan gangguan berbahasa yang
berbeda-beda. Heterogenitas gangguan kognitif menyebabkan populasi klinis gangguan berbahasa
beragam pula. Sebuah
kajian yang telah meneliti hubungan antara kognitif
dan perkembangan
bahasa menunjukkan
bahwa gangguan fungsi kognitif dapat memiliki pengaruh
buruk yang signifikan
terhadap perkembangan bicara dan pemerolehan bahasa.
Schaerlaekens &
Gillis (1987) membagi fase-fase
perkembangan bahasa anak dalam empat periode. Perbedaan ini didasarkan pada
ciri-ciri tertentu yang khas pada setiap periode. Adapun periode-periode tersebut adalah
sebagai berikut: a) Periode
Prelingual (usia 0-1 tahun) adalah
periode anak belum dapat mengucapkan 'bahasa' seperti yang diucapkan
orang dewasa. Namun perkembangan menghasilkan bunyi-bunyi itu sudah mulai pada
minggu-minggu sejak kelahirannya; b) Periode Lingual Dini (usia 1-2,5 tahun)
adalah periode anak mulai
mengucapkan perkataannya yang pertama, meskipun belum lengkap. Misalnya: atit
(sakit), agi (lagi), dan seterusnya. Pada masa ini beberapa
kombinasi bunyi masih terlalu sukar diucapkan, juga beberapa bunyi masih sukar
diucapkan, seperti: /r/, /s/, /k/, /j/, dan /t/. Pertambahan kemahiran
berbahasa pada periode ini sangat cepat dan dapat dibagi dalam tiga periode,
yaitu: (1) periode kalimat satu kata (holophrare), (2) periode kalimat
dua kata, (3) periode kalimat lebih dari dua kata (more word sentence);
c) Periode Diferensiasi (usia 2,5- 5 tahun) adalah periode anak dalam
mengadakan diferensiasi dalam penggunaan kata-kata dan kalimat-kalimat; d) Periode
Menjelang Sekolah (sesudah usia 5 tahun) adalah periode anak masuk sekolah dasar; yaitu pada waktu
mereka berusia antara lima sampai enam tahun.
Hurlock (1996)
menyebutkan bahwa belajar berbicara merupakan salah satu tugas perkembangan
pada masa bayi dan awal masa kanak-kanak. Kemampuan anak memahami bahasa
(reseptif) berkembang lebih dahulu
daripada kemampuan berbicara. Ketika mulai berbicara, anak-anak mengalami
kemajuan yang bervariasi dalam mengembangkan kemampuan berbicara seperti dalam
hal perbendaharaan kata, pembentukan kalimat, dan kejelasan dalam berbicara.
Kejelasan anak dalam berbicara berasal dari kemampuan anak untuk mengartikulasi
kata secara tepat.
Untuk memahami tahap
perkembangan bicara anak, apakah perkembangannya mormal atau terganggu, perlu
dilakukan skrining terhadap anak. Skrining perkembangan bicara dapat dilakukan
jika orangtua atau pengasuh anak memahami tahap perkembangan bicara. Tabel 1
yang diadopsi dari Child Guidance Center,
Iowa dapat dijadikan acuan skrining perkembangan bicara.
Tabel 1 Perkembangan Bicara Anak
Usia (bln)
|
Kemampuan
Anak
|
1-3
|
Menoleh
saat mendengar suara yang familiar (ibu, ayah)
|
Membuat
suara seperti “ooh” dan “ah”
|
|
3-6
|
Terlihat
senang (tersenyum, tertawa) saat didekati oleh orang yang dikenalnya
|
Berteriak
(saat sendiri atau terhadap orang lain) karena kegirangan
|
|
Mengoceh
|
|
Suara
konsonan seperti “p”, “b”, dan “m” mulai muncul
|
|
6-9
|
Menunjukkan
suasana hati (senang, marah) dengan suara
|
Bermain
dengan suara (mengeluarkan suara dengan intonasi dan volume yang
berbeda-beda)
|
|
9-12
|
Mengocehkan
2-3 suku kata secara berulang-ulang seperti: ma-ma, da-da-da
|
Lebih
sering menggunakan suara dari pada tangisan untuk mendapatkan perhatian
|
|
12-15
|
Menggunakan
suara untuk menolak
|
Menggunakan
suara untuk mengajukan permintaan
|
|
15-18
|
Menguasai
10-20 kata, sebagian besar adalah kata benda
|
Mengucapkan
kata secara berulang-ulang (ekolalia)
|
|
20-25%
pengucapan dimengerti oleh orang lain
|
|
18-24
|
Bersenandung
atau mencoba bernyanyi mengikuti nyanyian sederhana
|
Memasukkan
dua kata dalam kalimat (papa nakal)
|
|
Menyebut
anggota keluarga (mama, papa, kakak/ mas, mbak, adik)
|
|
Mengucapkan
pertanyaan yang terdiri dari dua kata (“papa mana?”)
|
|
Mengungkapkan
rasa takut secara lisan
|
|
Menguasai
20-50 kata
|
|
50-70%
pengucapan dapat dimengerti oleh orang lain
|
|
24-36
|
Mengucapkan
nama bagian-bagian tubuh, nama hewan, buah-buahan dll
|
Mengulang
nyanyian yang didengarnya
|
|
Mengulang
cerita yang didengarnya
|
|
Menguasai
400 kata
|
|
Sebagian
besar ucapan dapat dimengerti oleh orang lain
|
|
36-48
|
Memasukkan
3-5 kata dalam satu kalimat
|
Bercakap-cakap
|
|
Bercerita
|
|
Menguasai
900-1000 kata
|
|
90%
pengucapan dapat dimengerti oranglain
|
|
48-60
|
Memasukkan
6-8 kata dalam satu kalimat
|
Menjawab
pertanyaan berdasarkan cerita
|
|
Mengetahui
1500-2500 kata
|
|
60 +
|
Mengetahui
seluruh huruf vocal
|
Mengetahui
seluruh huruf konsonan
|
|
Menggunakan
kalimat kompleks
|
|
Umumnya
menggunakan tata bahasa secara benar
|
Tahap perkembangan di
atas, dapat dijadikan skrining (penyaring) untuk mengetahui sejauhmana
perkembangan berbicara anak.
1.3.2
Hakikat
Specific Language Impairment (SLI)
Specific Language Impairment (SLI) atau gangguan bahasa spesifik atau
gangguan bahasa tertentu adalah gangguan perkembangan yang
mempengaruhi penguasaan dan penggunaan bahasa seseorang. SLI didiagnosa ketika
bahasa anak tidak berkembang namun tidak ditemukan adanya keterbelakangan
mental, kelainan bicara secara fisik,
gangguan autistik, atau gangguan kerusakan otak. (Bishop, 2004; Mabel, 2005).
Maillart & Parisse (2009)
juga menjelaskan hal yang serupa bahwa SLI adalah gangguan
yang ditandai dengan keterlambatan atau ketidaknormalan perkembangan bahasa. Sebagian besar anak
dengan gangguan SLI tidak
disertai dengan defisit kognitif lain atau defisit neurologis. Profil SLI pada seorang anak mungkin saja berbeda dengan anak yang
lain. Untuk itu, SLI dipertimbangkan sebagai suatu nama umum yang meliputi tiga gangguan perkembangan
bahasa, yaitu dispraksia lisan perkembangan, disfasia linguistik, dan gangguan bahasa pragmatis.
SLI juga kadang-kadang disebut disfasia perkembangan atau gangguan perkembangan
bahasa. Disfasia perkembangan kemudian berubah menjadi SLI karena
beberapa ahli tidak puas dengan istilah tersebut. Penggunaan istilah disfasia
berhubungan dengan adanya cedera otak, sedangkan anak SLI tidak mengalami cedera otak. Menurut Thordardotir
(2007), SLI didiagnosa pada anak-anak yang signifikan
mengalami kesulitan perkembangan
terutama di bidang bahasa, seperti kesulitan dalam aspek kosa kata dan tata
bahasa.
Anak-anak yang
mengalami SLI memiliki kesulitan berbahasa lisan. Kondisi
SLI sangat jelas pada tahun-tahun prasekolah, sebelum sekolah
formal. Meskipun perkembangan bahasa lisan sangat bervariasi di kalangan anak-anak, namun pada anak
yang mengalami SLI, kesulitan khusus pada kemampuan berbahasa.
Beberapa tahun
terakhir, ada berbagai variasi tentang kriteria SLI. Tombin
(1996) mengusulkan kriteria
SLI berdasarkan lima skor komposit mewakili kinerja dalam tiga domain bahasa (kosakata
, tata bahasa , dan narasi) dan dua modalitas (pemahaman dan produksi). Bishop
& Snowling (2004) bahkan menambahkan bahwa pada anak yang mengalami SLI
terjadi masalah dengan persepsi pendengaran dan proses fonologis yang sangat
memberi dampak pada kemampuan membaca anak.
Ciri-ciri SLI
menurut Gillam (2009) adalah sebagai berikut: (a) kekurangan vocabulary, (b)
tidak mampu menggunakan kalimat kompleks, (c) tatabahasa lemah, (d) kurang
mampu menggunakan pronoun dan konjungsi, (e) kesulitan dalam memahami cerita,
dan (f) kesulitan dalam memproduksi cerita. Ditambahkan oleh Aguilar
& Mediavilla (2002)
bahwa: (a) anak-anak SLI kurang
akurat dalam produksi ujaran jika melihat usia mereka, (b) anak-anak SLI juga kurang akurat dalam perkembangan penggunaan bunyi-bunyi lateral, nasal, dan glottal, (c) anak-anak
SLI juga menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam pemerolehan
struktur suku kata yang sederhana, seperti
CV dan (d) anak-anak SLI juga menunjukkan sering mengalami afrikasi,
lateralisasi, pengurangan klaster, dan penghapusan klaster.
Hasil
penelitian di atas sejalan dengan hipotesis
Leonard (2000) bahwa anak-anak dengan SLI memiliki pengolahan memori yang lambat. Penelitian di atas sangat membantu
menjelaskan gejala dan keseluruhan proses yang mengalami defisit untuk mengembangkan intervensi anak-anak dengan SLI.
Bishop (2007)
juga menjelaskan bahwa anak yang mengalami SLI bermasalah dalam belajar kata.
Anak SLI juga bermasalah dalam membuat ujaran yang benar. Dari aspek sintaksis,
anak SLI juga bermasalah dalam memproduksi atau memahami kalimat kompleks.
Marton (2010) pernah meneliti postur tubuh
dan gerakan tangan imitasi
pada anak-anak dengan gangguan bahasa tertentu (SLI) dan
rekan-rekan sebaya yang tidak mengalami gangguan.
Para peserta
adalah 40 anak-anak dengan SLI (5 tahun 3 bulan sampai 6 tahun 10
bulan) dan 40 anak-anak
dengan perkembangan bahasa yang
khas (5 tahun 3 bulan sampai 6 tahun
7 bulan). Beberapa tes digunakan untuk memeriksa imitasi dan kognitif yang mendasari
dan keterampilan motorik seperti
kinestesia, memori kerja, dan koordinasi motorik kasar. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami SLI menunjukkan kelemahan meniru gerakan tubuh.
Mariko (2012)
juga pernah meneliti tentang kontak mata yang dilakukan oleh anak yang
mengalami SLI. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang mengalami
SLI lebih cenderung memperhatikan mulut dibandingkan melakukan kontak mata
dengan mitra tuturnya. Hal tersebut berarti kelemahan pada anak dengan SLI tidak terbatas pada domain verbal, tetapi juga pada gerakan
tubuh dan kontak mata.
Berdasarkan
hasil penelitian para pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa anak yang
mengalami SLI memiliki gejala sebagai berikut:
a.
produksi ujaran
kurang akurat jika dilihat dari usia mereka;
b.
kurang
akurat dalam perkembangan
penggunaan bunyi-bunyi lateral,
nasal, dan
glottal;
c.
menunjukkan
perbedaan yang signifikan dalam pemerolehan struktur suku kata yang sederhana;
d.
menunjukkan sering
mengalami afrikasi, lateralisasi, pengurangan klaster, dan penghapusan klaster;
e.
kekurangan leksikon;
f.
tidak mampu menggunakan kalimat kompleks;
g.
tatabahasa lemah;
h.
kurang mampu menggunakan pronoun dan konjungsi;
i.
kesulitan dalam memahami cerita;
j.
kesulitan dalam memproduksi cerita;
k.
lemah dalam meniru gerakan tubuh; dan
l.
kurang melakukan kontak mata dengan mitra tutur.
1.3.3 Etiologi Specific
Language Impairment
Etiologi adalah studi tentang penyebab suatu
penyakit atau penyebab dari suatu kondisi yang tidak normal (www.meriam-webster.com). Dalam ilmu
kedokteran, etiologi merupakan ilmu yang mempelajari penyebab atau asal
penyakit dan faktor-faktor yang menghasilkan atau memengaruhi suatu penyakit
tertentu atau gangguan (healthcareers.about.com).
Etiologi gangguan bicara dibagi menjadi
gangguan organik dan gangguan fungsional. Gangguan organik adalah gangguan yang
diketahui penyebabnya secara fisik, (misalnya, paralisis dari pita suara).
Kelainan fungsional, kemungkinan terjadi karena adanya perubahan pada fisik,
tetapi tidak diketahui etiologinya secara fisik.
Secara umum, etiologi gangguan bicara
dan bahasa dibedakan atas beberapa faktor.
a.
Hambatan
Pendengaran
Hambatan pendengaran sangat berkaitan dengan
keterlambatan bicara. Jika seorang anak
mengalami kesulitan pendengaran, maka dia akan mengalami hambatan pula dalam
memahami, meniru dan menggunakan bahasa (Butler, 2012). Gangguan pendengaran pada
anak disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetik, infeksi
telinga, obat ototoksit, dan trauma.
b.
Hambatan Perkembangan pada Otak
Hambatan perkembangan pada otak yang menguasai kemampuan
oral-motor. Beberapa kasus keterlambatan bicara yang disebabkan adanya masalah
pada area oral motor di otak sehingga kondisi ini menyebabkan terjadinya
ketidakefisienan hubungan di daerah otak yang bertanggung jawab menghasilkan
bicara. Akibatnya, anak mengalami kesulitan menggunakan bibir, lidah bahkan
rahangnya untuk menghasilkan bunyi tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kemampuan berbahasa sangat didukung oleh perkembangan otak.
c.
Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga belum banyak diteliti korelasinya
dengan etiologi dari hambatan pendengaran. Namun, sejumlah fakta menunjukkan
pula bahwa pada beberapa kasus di mana seorang anak mengalami keterlambatan
bicara, ditemukan adanya kasus serupa pada generasi sebelumnya atau pada
keluarganya. Neil & Aram (1986) meneliti insidensi gangguan bahasa pada 74
anak dibandingkan dengan 36 orang anak yang perkembangan bahasanya normal.
Hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa anak yang mengalami
gangguan bahasa memiliki keluarga yang juga mengalami gangguan bicara, gangguan
membaca, dan gangguan berbahasa dibandingkan dengan anak yang berkembang
normal.
d.
Interaksi dengan Orangtua
Komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa
disadari memiliki peran yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan
berbicara dan berbahasa yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari
bahwa cara mereka berkomunikasi dengan anak membuat anak tidak punya banyak
perbendaharaan kata-kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau
membuat kesimpulan dari kalimat-kalimat yang sangat sederhana sekali pun.
Orangtua sering malas mengajak anaknya bicara panjang
lebar dan hanya bicara satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau
jawaban sangat singkat. Selain itu, anak yang tidak pernah diberi kesempatan
untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih banyak menjadi pendengar pasif)
karena orang tua terlalu memaksakan segala instruksi, pandangan mereka sendiri
atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi kesempatan pada anaknya untuk
memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan bicara,
menggunakan kalimat dan berbahasanya.
e.
Keterbatasan Fisik
Keterbatasan fisik meliputi kelemahan otot bicara dan bibir
sumbing. Hasil penelitian Schonweiler (1996)
menunjukkan bahwa 92% anak yang menderita bibir sumbing mengalami gangguan
berbahasa.
Menurut Bishop
(2006), penyebab SLI tidak
diketahui, tetapi penemuan terbaru menunjukkan bahwa SLI memiliki hubungan genetik yang kuat. Anak-anak SLI
kemungkinan lebih besar memiliki
orang tua atau saudara yang
lain mengalami kesulitan dan keterlambatan bicara,
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami SLI. Bahkan, 50 sampai 70 persen anak-anak SLI memiliki
setidaknya satu anggota keluarga lainnya yang mengalami gangguan atau
kesulitan berbahasa.
Lebih lanjut Bishop (2006) menjelaskan bahwa gangguan SLI memiliki penyebab yang
berbeda. Beberapa SLI disebabkan oleh faktor genetik dan beberapa lagi
disebabkan oleh lingkungan. Anak-anak yang memiliki defisit tunggal kurang mungkin
untuk diidentifikasi secara klinis sebagai kasus SLI dibandingkan mereka yang memiliki lebih dari satu defisit.
Hal tersebut
berarti, apabila seorang anak mengalami defisit fonologis saja atau defisit
morfologis saja sukar untuk digolongkan sebagai anak SLI. Anak SLI mungkin saja mengalami defisit pada
semua aspek fonologis, morfologis, sintaktis, semantic, maupun pragmatis. Hal
tersebut berarti, defisit yang dialami anak sangat kompleks.
Menurut
Cummings (2008), gangguan bicara dan bahasa juga berhubungan erat dengan area
lain yang mendukung proses berbicara,
seperti fungsi otot mulut dan fungsi pendengaran. Keterlambatan berbicara dan
gangguan berbicara dan berbahasa yang dialami dapat dimulai dari bentuk yang paling
sederhana seperti bunyi suara yang sengau atau serak sampai dengan
ketidakmampuan untuk mengerti atau menggunakan bahasa, atau ketidakmampuan
mekanisme oral motor dalam menjalankan fungsinya untuk berbicara dan makan.
Gangguan
perkembangan artikulasi meliputi kegagalan mengucapkan satu satu atau beberapa
bunyi. Sering terjadi penghilangan atau penggantian bunyi sehingga menimbulkan kesan bahwa anak yang
mengalami SLI berbicara seperti anak
kecil. Selain itu juga dapat berupa gangguan dalam pitch, volume atau kualitas
suara.
Neil dan Aram
(1986) meneliti hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian gangguan
bicara dan bahasa. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa anak yang
mengalami gangguan bicara dan bahasa kebanyakan memiliki riwayat keluarga yang
juga mengalami gangguan yang sama di bandingkan dengan anak yang normal.
Hasil
metanalisis yang dilakukan oleh Cummings (2008) menunjukkan bahwa penelitian-penelitian terakhir membuktikan
bahwa genetik merupakan penyebab SLI. Hal tersebut didasarkan
pada beberapa studi keluarga yang menunjukkan tingkat gangguan bahasa
SLI yang lebih tinggi pada anak-anak yang memiliki hubungan biologis. Demikian
pula penelitian yang dilakukan oleh Hidajati (2009) yang meneliti faktor
resiko disfasia perkembangan pada anak. Penelitian tersebut mengungkap bahwa
salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap disfasia perkembangan adalah riwayat keluarga.
Studi epidemiologis dari SLI menunjukkan kerentanan laki-laki lebih besar terhadap gangguan ini. Meskipun angka bervariasi dari antara satu penelitian dengan penelitian yang lain, prevalensi SLI pada laki-laki secara konsisten dilaporkan lebih besar dibandingkan pada wanita. Tomblin
dkk (1997) memperkirakan prevalensi untuk anak
laki-laki dan perempuan masing-masing 8 persen dan 6 persen.
Selain hal di atas, salah satu penyebab SLI adalah cacat
neurobiologis. Webster & Shevell (2004) menemukan bahwa cacat neurobilogis ditemukan pada anak yang mengalami SLI.
Pemahaman tentang neurobiologis akan sangat membantu dalam memprogram
intervensi pada anak yang mengalami SLI.
1.3.4
Presentasi Klinis Anak Yang Mengalami SLI
Presentasi
klinis menyangkut manifestasi
linguistik yang ditunjukkan oleh anak yang mengalami SLI.
Manifestasi tersebut berupa penurunan atau defisit dalam dalam bidang fonologi,
morfologi,
sintaksis,
semantik,
dan pragmatik yang dapat diketahui
melalui bentuk-bentuk lingual yang dituturkan.
Fey
(1986) mengatakan bahwa anak yang mengalami SLI menunjukkan defisit dalam
bidang fonologi, semantik leksikal dan relasional,
sintaksis, morfologi, dan pragmatik.
Berkaitan dengan itu, Aguilar
& Mediavilla
(2002)
menjelaskan keterkaitan perkembangan kontrol oral motorik dengan gangguan bicara dan bahasa
pada anak-anak dengan SLI adalah
karena mereka tidak mampu
bertahan dengan fitur sintaksis
dan fitur semantik untuk tata
bahasa mereka. Hal ini membuat anak-anak tidak dapat
mengembangkan aturan morfofonemik.
Menurut
Cummings (2008), defisit bicara anak
yang mengalami SLI
berkaitan dengan kesulitan fonologi yang dialami. Anak yang mengalami SLI
menggunakan bentuk suku kata yang lebih terbatas dan kurang tersusun dibandingkan dengan kelompok anak yang
berkembang normal ( bentuk V dan bentuk CV berlawanan dengan suku kata CV dan
CVC dan non reduplikasi produksi dua suku kata).
Aquilar-Mediavilla
dkk (2002) melaporkan, kesulitan utama fonologis anak SLI terkait dengan aturan bahasa yang
mengatur sistem bunyi.
Masalah kombinasi bunyi pada bentuk suku
kata
dan/atau kesulitan dalam mengucapkan penanda linguistik seperti penanda
jamak dan penanda lampau. Beberapa
bentuk kesulitan fonologis adalah (a) penghapusan suku
kata yang lemah seperti puter untuk computer, (b) penghilangan konsonan
akhir seperti daw untuk dog, (c) pengulangan seperti buhbuh untuk bubbles, (d) pengurangan klaster
seperti top untuk stop, (e) bunyi henti
seperti do untuk zoo, (f) bunyi depan tat untuk cat, dan (g) bunyi luncur, seperti wing untuk ring.
Keakuratan
dalam meproduksi kata yang terdiri dari tiga suku yang dihasilkan oleh
anak-anak penderita SLI sangat rendah dibandingkan keakuratan yang dihasilkan
oleh kelompok kontrol. Dalam hal
penyederhanaan proses, anak-anak yang mengalami SLI lebih banyak melakukan
pengurangan kelompok suku kata dan non suku kata serta menghapus huruf awal dan
akhir konsonan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Anak-anak yang mengalami
SLI juga secara menonjol lebih sering menghapus konsonan tengah dibandingkan
dengan anak (Aguilar-Mediavilla dkk. (2002).
Rice dkk
(2000) meneliti pemerolehan kata kerja
lampau yang teratur dan tidak teratur
pada anak-anak penderita SLI berusia antara 5 hingga 8 tahun. Selama
periode ini, pemerolehan reguler past
tense-ed oleh anak-anak penderita SLI
tertinggal dari anak-anak dari kelompok
kontrol yang berusia lebih muda.
Pada aspek
sintaksis, Eadie dkk (2002) melaporkan bahwa anak-anak penderita SLI memperoleh
nilai yang kurang baik dalam hal
gabungan kalimat, infleksi kalimat dan morfem non-kalimat. Penelitian Grela
& Leonard (2000) juga berkaitan dengan defisit sintaksis yang dialami anak
SLI. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa anak yang mengalami
SLI lebih sering menghilangkan
kata kerja bantu be. Anak yang mengalami SLI juga cenderung
untuk menghilangkan bentuk-bentuk tambahan ketika kalimat mengandung struktur
kerumitan argumen yang lebih besar.
Penelitian
telah berulang
kali menunjukkan bahwa
anak-anak penderita SLI
memiliki penurunan
yang signifikan dalam leksikal
semantik.
Lahey
dan
Edwards
(1999)
menemukan
bahwa anak-anak penderita
SLI
membuat lebih banyak kesalahan
dalam penamaan
gambar dibanding anak-anak berbahasa
normal. Perbedaan antara
kedua kelompok tersebut
signifikan.
Selain itu,
secara proporsional kesalahan dalam
penamaan objek yang terjadi pada anak-anak penderita SLI dikaitkan dengan objek
bergambar (seperti sepatu/kaki) dan secara fonologis berkaitan dengan target.
McGregor (2002)
melaporkan
bahwa anak-anak penderita SLI
membuat kesalahan
secara lebih signifikan ketika
penamaan benda yang sesuai dibanding
dengan anak seusia dari kelompok kontrol. Salah penamaan secara semantik dan
tanggapan tak menentu (misalnya ‘tidak tahu’) membentuk
jenis
kesalahan
dominan
pada anak SLI. Rendahnya kemampuan
penamaan
yang dimiliki oleh anak-anak penderita
SLI dikaitkan dengan lemahnya semantik
representasi
pada anak-anak tersebut.
Representasi klinis
SLI oleh Rapin & Allen (dalam Paul, 2007) dapat dilihat pada setiap tipe SLI.
Klasifikasi SLI tersebut adalah sebagai
berikut:
a.
Receptive/Expressive
Phonologic/ Syntactic Deficit Syndrome (PSDS)
Gangguan
tersebut adalah bentuk paling umum dari SLI di mana anak memiliki kecenderungan
untuk berbicara dalam kalimat pendek sederhana, dengan penghilangan
beberapa fitur gramatikal, juga
penyederhanaan produksi ujaran, misalnya pengurangan kelompok konsonan dan
terbatasnya kosa kata sehingga ada kecenderungan untuk menggunakan istilah umum untuk maksud yang lebih spesifik.
b.
Verbal
Auditory Agnosia (VAA)
VAA adalah bentuk gangguan bahasa yang sangat
jarang terjadi. Gejala gangguan VAA adalah anak tidak dapat memahami ujaran. Kondisi
ini biasanya terjadi sebagai gejala
Landau-Kleffner syndrome. Kondisi tersebut terjadi karena ada penyebab
neurologis.
c.
Developmental
Verbal Dyspraxia (DVD)
DVD
adalah gangguan perkembangan bicara. Anak yang mengalami DVD memiliki pemahaman
yang memadai namun perkembangan bicara sangat tertunda, produksi ujaran sangat
terbatas dan singkat. Produksi ujaran yang sangat terbatas tidak dapat
dijelaskan dalam hal kerusakan struktural atau neurologis dari artikulator.
Meskipun banyak pertentangan tentang kriteria diagnostik anak dengan DVD, namun
label tersebut paling sering digunakan untuk anak yang ujarannya tidak kompleks
dibandingkan dengan ketika mereka memproduksi fonem atau silabe. Anak-anak
dengan dyspraxia verbal juga biasanya memiliki masalah melek huruf besar.
d.
Phonologic
Programming Deficit Syndrome (PPDS)
Anak yang mengalami (PPDS) berbicara dalam ucapan panjang
tapi kurang dimengerti, ujaran yang diproduksi terdengar seperti jargon. Anak
dapat berbicara terus-menerus dengan bahasanya sendiri tetapi orang lain tidak
dapat memahami apa yang diujarkannya.
e. Lexical Deficit Syndrome (LSDS)
Anak yang
mengalami LSDS memiliki kesulitan
dalam menemukan kata (word
finding). Selain itu, anak juga kesulitan menempatkan ide-ide dalam
kata-kata. Anak tidak mampu
menghubungkan ujaran.
f. Semantic-Pragmatic Deficit Syndrom (SPDS)
Anak yang mengalami
SPDS berbicara dengan fasih dan bentuk yang tepat serta artikulasi yang memadai, namun anak lemah dalam giliran
berbicara dalam percakapan. Anak yang
mengalami SPDS juga lemah dalam mempertahankan topik.
1.3.5
Intervensi Klinis
Anak yang mengalami gangguan bicara dan
bahasa seperti SLI, perlu mendapat penanganan yang lebih dini dan lebih baik. Menurut
van Tiel (2011), penanganan anak yang menyandang gangguan bahasa sebaiknya
dilakukan dua arah. Dalam hal ini, peneliti tidak hanya melihat kelemahan anak
tetapi juga kekuatannya agar anak tidak merasa tertekan.
Intervensi untuk
anak-anak dengan SLI bisa melibatkan proses
belajar untuk membedakan
antara produksi ujaran yang benar dan yang salah. Intervensi
artikulasi dapat mengajarkan
produksi ujaran yang benar dalam
berbagai konteks. Menurut
Hernawati (2009), intervensi SLI dari segi fonologis dapat berfokus pada pengajaran aturan
tertentu dalam berbicara dengan harapan dapat
menghilangkan pola kesalahan fonologis,
misalnya penghapusan konsonan akhir dengan target
ujaran
tertentu di beberapa
posisi
akhir suku kata.
Anak dengan SLI yang mengalami defisit
sintaksis dapat diintervensi dengan berbagai teknik. Hasil
penelitian Gillam ( dalam Clark & Kamhi, 2009) menunjukkan bahwa strategi imitasi, pemodelan, dan produksi menimbulkan dampak
yang besar pada
anak-anak dengan kesulitan sintaksis ekspresif.
Mortimer (2003) menyebutkan beberapa
bentuk intervensi yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan berbicara pada anak dengan
ganguan bahasa ekspresif, yaitu: a) bermain menggunakan boneka dan telepon
untuk mendorong vokalisasi b) bermain bersama dalam kelompok kecil sehingga
anak memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendengar dengan sungguh-sungguh
dan mengulanginya c) Latihan membuat gerakan mulut, lidah dan suara saat
berbicara dengan jelas di depan kaca secara bersama-sama, d) ketika anak
mengucapkan suatu kata secara tidak jelas, jangan meminta anak untuk mengatakannya dengan benar. Sebaiknya ulangi kata tersebut
dengan jelas kepada mereka sehingga
mereka dapat mendengar versi yang benar.
Intervensi
biasanya dilakukan oleh terapis wicara dan bahasa yang menggunakan berbagai teknik untuk
merangsang pembelajaran bahasa. Pada tahun 1990-an, para ahli mengembangkan
model intervensi berbasis pelatihan, misalnya pelatihan tata bahasa dan penggunaan
imitasi. Model tersebut kemudian kurang berkembang karena dianggap terlalu kaku.
Pendekatan
kontemporer dianggap lebih
baik untuk meningkatkan perkembangan
struktur bahasa karena
membawa anak pada situasi alami komunikasi. Terapis melakukan intervensi didasarkan pada ucapan-ucapan anak , bukan mendikte apa
yang akan dibicarakan. Di samping itu, fokus intervensi yang
dulu semata-mata pada tata bahasa
dan fonologi, berkembang kepada penggunaan bahasa sosial anak.
Hasil studi pustaka yang dilakukan oleh
Dachrud (2010) menjelaskan bahwa berdasarkan hasil metanalisis terhadap
intensitas terapi pada pemulihan bahasa penderita afasia, ada indikasi bahwa
terapi yang intensif sekalipun dalam waktu yang singkat akan dapat meningkatkan
hasil pada terapi bahasa dan bicara bagi penderita afasia. Hal tersebut berarti
bahwa dalam merancang intervensi, perlu mengutamakan intensitas dibandingkan
lamanya sesi intervensi.
Pelaksanaan intervensi pada anak dengan
SLI memerlukan dukungan kemampuan pada anak
tentang hal-hal berikut:
a.
Konsentrasi
Konsentrasi
adalah kemampuan anak untuk mempertahankan perhatian atau memusatkan perhatian
(Van Tiel, 2011). Kemampuan ini berkaitan dengan sistem regulasi kesadaran yang
berpusat di bagian tengah otak. Sistem regulasi sangat penting bagi manusia
dalam menghubungkan dirinya dengan dunia luar (Petersen, 2009).
Rentang atensi atau lamanya waktu yang
digunakan anak untuk menekuni suatu kegiatan dapat diamati sesuai usia.
Rata-rata rentang atensi pada anak usia 2 tahun selama 7 menit,
usia 3 tahun selama 9 menit, usia 4 tahun selama 12 menit, usia 5 tahun
selama 14 menit.
Kemampuan
memusatkan perhatian berbeda-beda, semakin berkembang, anak semakin mampu
menseleksi stimulus yang ada dan makin mampu memusatkan perhatian. Meskipun
gangguan konsentrasi ini juga dapat terus terjadi sampai usia dewasa.
Dengan
demikian, perilaku seseorang akan cukup baik jika fungsi kesadaran untuk
melakukan hubungan dengan dunia luar juga baik. Bila seorang anak mempunya
perilaku terlalu aktif dan kurang dapat mempertahankan perhatian, maka proses
perkembangan bahasa dan bicaranya juga akan terhambat. Oleh karena itu, anak yang
terlambat bicara biasanya karena lebih memusatkan perhatiannya pada belajar
berjalan atau berlari. Tan mengatakan, meskipun anak sedang berkonsentrasi pada
hal lain, namun kita bisa memanfaatkan apa yang sedang berkembang pesat untuk
membantu belajar berbicara ( Van Tiel, 2011).
Anak-anak
berada di bawah dominasi kerja belahan
otak kanan (Sudono, 2000). Perkembangan konsentrasi ke arah ini dapat
dimanfaatkan untuk belajar bahasa sambil menyanyi, sambil menggambar, dan
sambil menari.
b.
Pemrosesan Informasi Auditory
Informasi
auditory dapat diamati dalam bentuk kemampuan membedakan ritme dan melodi,
kemampuan memahami bahasa dengan cara membacakan suatu cerita dalam bentuk
teks, (anak diminta mengulangi cerita, menceritakan kembali dalam gambar yang
tersedia), dan kemampuan memori verbal dengan menyebutkan beberapa kata lepas
tanpa makna ( van Tiel, 2011).
c.
Oral Motor
Oral
motor adalah otot-otot seputar mulut yang membantu pembentukan suara (van Tiel,
2011). Anak-anak yang mengalami gangguan perkembangan seringkali juga mengalami
gangguan motorik halus yang antara lain akan terlihat pada motorik yang
mengatur bicara dan jari. Kelemahan oral motor dapat ditandai pada anak
yang sering melongo bahkan mengeluarkan
air liur atau anak yang sangat lambat menghabiskan makanannya. Anak yang
mengalami kelemahan oral motor dapat dibantu dengan memberikan camilan keras,
meniup balon atau meniup balon air sabun, dan meniup terompet.
Salah
satu pendekatan yang dapat digunakan dalam intervensi gangguan berbahasa adalah
pendekatan multisensorik. Menurut Paul & Norbury (2007), pendekatan
multisensorik didasarkan pada asumsi bahwa anak akan belajar dengan baik
apabila materi pengajaran disajikan dalam berbagai modalitas alat indera. Dalam mengembangkan
kemampuan berbahasa, anak perlu diberikan
berbagai stimulus yang dapat mestimulasi
berbagai indera/sensoris, seperti indera visual, auditif, kinestetik, dan
taktil.
1.3.6
Metode
Stimulasi
Metode stimulasi adalah metode yang
dirancang untuk merangsang satu atau beberapa indera. Stimulasi memiliki peran
yang sangat penting untuk mencapai perkembangan yang optimal. Stimulasi yang tepat adalah sesuai dengan tahapan
perkembangan anak.
Salah satu penyebab terhambatnya perkembangan bahasa
yang paling umum dan paling serius
adalah ketidakmampuan orang tua untuk mendorong/memotivasi anak berbicara,
bahkan pada saat anak mulai berceloteh. Anak yang tidak diberikan stimulasi
untuk berceloteh akan menghambat kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Kurangnya
stimulasi merupakan penyebab serius keterlambatan berbicara anak.
Menurut Hernawati (2009), metode stimulasi dilakukan
berdasarkan prinsip pengamatan terhadap suatu stimulus melalui pendengaran dan
atau penglihatan anak. Dengan mengembangkan berbagai kemampuan pengamatan yang
dimiliki anak, kita memberikan stimulus melalui penglihatan dan atau
pendengarannya. Melalui cara ini anak akan menerima cara bicara yang benar,
kemudian dibandingkan dengan konsep bicaranya yang salah. Bila cara bicara yang
benar tadi semakin diperkuat dengan diulang terus-menerus, maka akan terjadi
proses perpindahan dari bicara yang salah menjadi bicara yang benar secara
menetap. Metode ini dapat juga digunakan untuk menanamkan pengertian bahasa
dengan cara menstimulasi anak melalui berbagai media yang menarik perhatian
anak, seperti gambar dan foto.
Dalam menanamkan pengertian bahasa pada anak, penting
untuk selalu memperbincangkan hal-hal yang sedang mengasyikan anak. Kata-kata
dan artinya paling baik dipelajari dalam keadaan sewaktu bermain. Mitra tutur
anak memperkatakan apa yang dilihat, diperbuat,
dan dipikirkan anak. Setiap saat merupakan kesempatan bagi anak untuk belajar berbahasa.
Mitra tutur anak harus berusaha untuk mengerti isyarat gerak yang diperbuat anak,
mengerti bunyi yang diucapkannya, kemudian membahasakannya sehingga anak dapat
memahami betul kata-kata yng diucapkan dengan aktivitas yang dilakukan.
Pendekatan lain yang tak kalah penting adalah peran
orang tua atau keluarga dekat anak. Orang tua atau keluarga dekat lebih mungkin
untuk terlibat secara langsung pada intervensi anak, terutama dengan pada anak-anak prasekolah.
Menurut Hernawati (2009), dalam
melakukan intervensi, ada beberapa prinsip umum yang perlu diterapkan.
a.
Mengikuti Upaya Anak untuk
Berbicara
Anak tidak perlu dipaksa untuk berbicara
karena memaksa anak akan sia-sia. Hal penting yang harus dilakukan adalah
mengikuti terus-menerus upaya anak untuk berbicara. Anak berceloteh perlu dibiarkan
tanpa harus memaksa anak untuk memperbaiki ucapannya. Sedapat mungkin setiap
ucapan anak diucapkan kembali. Apabila anak menunjukkan upayanya untuk berbicara
atau berkomunikasi, anak perlu memberikan suatu penghargan atau pujian.
b. Memancing
Anak untuk Berbicara
Memancing
anak untuk berbicara dapat dilakukan dengan cara bertanya. Namun penting untuk diketahui
bahwa bertanya dengan menggunakan kata “apa ini?” atau “apa itu?” pada anak yang
terlambat perkembangan bicara dan bahasanya dipandang kurang efektif. Memancing
anak untuk berbicara lebih baik dengan mengajukan kalimat-kalimat yang harus
dilengkapi (misalnya; ‘ Ini ………..”). Jika anak tidak menjawab, hendaknya kita
mengisi kalimat itu sendiri setelah menunggu sebentar.
Memancing
anak untuk berbicara dapat juga dilakukan dengan menggunakan jawaban yang salah
jika anak bertanya. Penaman yang salah pada sesuatu benda juga dapat memancing
anak berbicara, misalnya: “Ini topi” ( untuk gambar bola).
c.
Lingkup Minat dan Kesukaan Anak
Dalam
upaya membuat anak berbicara, hal-hal yang dilakukan atau yang dibicarakan hendaknya
termasuk dalam lingkup minat dan kejadin-kejadian menyenangkan yang dialami
anak. Hal tersebut akan menunjukkan kepada anak
bahwa dia diperhatikan. Dengan memperhatian minat dan kesukaannya, anak akan bersemangant dan termotivasi untuk
berbicara.
d.
Penyediaan Ruangan
Ruangan
hendaknya dibatasi serta usahakan sedapat-dapatnya ruangan itu miskin stimulus,
sehingga perhatian anak tertuju pada kita dan aktivitas yang sedang dilakukan.
Sekali ditentukan mainan yang akan dimainkannya, hendaknya jangan mengubah-ubah
terlalu sering. Pembatasan stimulus dalam ruangan hanya jika intervensi yang
dilakukan untuk imitasi pengucapan.
e.
Mainan
Memiliki
dua mainan yang sama akan lebih baik. Misalnya jika ingin meperagakan sesuatu,
akan lebih mudah jika menggunakan dua mainan, sehingga kita dapat meniru apa yang
diperagakan anak dan anak dapat meniru/memperagakan apa yang kita peragakan dengan
menggunakan mainannya sendiri.
f.
Memacu Kontak
Seorang
anak dengan gangguan dalam berkomunikasi, harus belajar mengadakan kontak
(menjalin hubungan). Untuk melatih anak mengadakan kontak, kita harus mulai dengan
memasuki dunia anak dalam bermain, menjadikan kita sebagai bagian dari
kehidupan anak dan teman bermainnya. Pada awalnya keikutsertaan kita
berlangsung pada tingkat sederhana, kemudian perlahan-lahan mencapai tingkat
yang lebih rumit. Dari kontak mencapai komunikasi melalui bahasa tubuh seperti
mimik dan gerak isyarat. Dari bahasa tubuh berangsur-angsur sampai kepada
bicara.
g.
Menunggu Giliran
Anak-anak
dengan keterlambatan berbahasa dan berbicara, kadang-kadang tidak tahu bagaimana
harus bergilir sebagai pembicara dalam suatu percakapan. Kita dapat melatihnya melalui
kegiatan bermain giliran. Dalam kegiatan ini, anak dilatih kapan saat-saat
menunggu dan kapan harus beraktivitas.
h.
Mengarahkan Perhatian
Apabila
anak mengalami kesulitan untuk mengarahkan perhatiannya, banyak stimulus yang
diabaikan dari pengamatannya. Kita dapat mengarahkan perhatian anak dengan memberinya
berbagai stimulus. Stimulus yang diberikan tidak hanya secara lisan, tetapi
juga dengan cara merasakan, atau melihat bagaimana tindakan tertentu
berlangsung. Apabila menggunakan media, hendaknya dipilih bahan yang warna,
bentuk dan bunyinya menarik perhatian anak.
1.3.7 Mean Length of Utterance
(MLU)
MLU merupakan pengukur untuk perkembangan
sintaksis anak. Menurut Brown (1973), cara menghitung MLU dapat
dilakukan dengan beberapa langkah, pertama mengambil sampel sebanyak 100
ujaran. Kedua, menghitung jumlah morfemnya. Ketiga, membagi jumlah morfem
dengan jumlah ujaran, seperti pada rumus berikut:
Jumlah Morfem
MLU = ————————-
Jumlah ujaran
Brown (1973) membagi tahap pemerolehan bahasa anak
berdasarkan MLU anak menjadi sepuluh tahap, yaitu :
1. Tahap I MLU
(1—1,5) pada usia 12—22 bulan
2. Tahap II MLU
(1,5—2,0) pada usia 27—28 bulan
3. Tahap III MLU
(2,0—2,25) pada usia 27-28 bulan
4. Tahap IV MLU
(2,25—2,5) pada usia 28—30 bulan
5. Tahap V MLU
(2,5—2,75) pada usia 31—32 bulan
6. Tahap VI MLU
(2,75—30,0) pada usia 33—34 bulan
7. Tahap VII MLU
(3,0—3,5) pada usai 35—39 bulan
8. Tahap VIII MLU
(3,5—3,45) pada usia 38—40 bulan
9. Tahap IX MLU
(3,5—3,45) pada usia 41-46 bulan
10. Tahap X MLU (4,5+) pada
usia +47 bulan
Pengukuran
MLU sangat dibutuhkan untuk menilai kinerja bahasa anak yang mengalami SLI agar
dapat menyusun program intervensi sesuai kebutuhan anak.
Langganan:
Postingan (Atom)